PERMASALAHAN ROB KOTA SEMARANG
(oleh : Satriyo Panalaran)
Bencana Rob di Kota Semarang
Menurut
Ir Fauzi MT dalam Suara Merdeka 24 Juni 2004, Kasie Operasi dan Pemeliharaan
Pengairan DPU Kota Semarang, luapan air laut (rob) masuk lewat sungai-sungai di
Semarang yang bermuara di Laut Jawa. Lantaran sungai itu tak mampu menampung
luapan, rob masuk ke saluran-saluran yang menuju sungai itu. Tak selamanya
saluran itu mampu menampung luapan. Sudah menjadi sifat air yang mencari daerah
cekungan, maka begitu air tidak tertampung di saluran yang ada, lalu mencari
wilayah-wilayah di sekitar saluran yang merupakan daerah cekungan.
Dari
62 sungai di Kota Semarang, yang paling parah dan sering disambangi rob ada
empat sungai. Yakni Kali Banger, Kali Tenggang, Kali Semarang dan Kali Sringin.
Luapan dari sungai itulah yang akhirnya merembes ke beberapa wilayah Kota. Kini
wilayah terjauh yang digenangi rob, yakni kawasan Pasar Johar dan Jalan Pemuda.
Sedangkan yang terparah di kawasan Pelabuhan Tanjung Emas dan Semarang Utara.
Banyak
pendapat menyebutkan penyebab rob, karena pasang surut air laut, konsolidasi
tanah di bawah Kota Semarang yang belum tuntas, penurunan tanah di pelabuhan,
dan umur tanah yang masih muda sehingga cenderung labil. Pengambilan air bawah
tanah secara berlebihan pun dianggap sebagai pemicu terjadinya penurunan
permukaan tanah.
Lalu
reklamasi pantai dianggap pula sebagai pemicu terjadinya rob. Sebab ruang bagi
luapan air yang sebelumnya berada di areal tambak, sekarang sudah tak ada lagi.
Diganti dengan permukiman (elite), sehingga seakan-akan manusia yang menjemput
rob (bencana).
Menurut
Sarbidi (2002) rob yang terjadi di Semarang disebabkan beberapa faktor, antara
lain:
·
perubahan
penggunaan lahan di wilayah pantai : lahan tambak, rawa, sawah yang dulu secara
alami dapat menampung pasang air laut telah berubah menjadi lahan pemukiman,
kawasan industri, dan pemanfaatan lainnya.
·
Penurunan
muka tanah yang disebabkan adanya pembangunan secara besar-besaran di wilayah
pesisir Kota Semarang dan pengambilan air tanah secara berlebihan.
·
Kenaikan
muka air laut akibat efek pemanasan global.
Dalam
tulisan oleh BAPPEDA (2000) rob telah menggenangi wilayah Semarang utara 27,2
km2 dan Semarang Barat 12,4 km2. Berdasarkan data wilayah
drainase kedua kecamatan tersebut diperkirakan luas genangan banjir rob sekitar
32,6 km2. Hal ini dapat digambarkan seperti di bawah ini.
Land Subsidence
Penurunan
muka tanah (land subsidence) merupakan suatu proses gerakan penurunan muka
tanah yang didasarkan atas suatu datum tertentu (kerangka referensi geodesi)
dimana terdapat berbagai macam variabel penyebabnya (Marfai, 2006).
Turunnya
permukaan tanah biasanya terjadi secara perlahan-lahan, atau juga bisa terjadi
secara mendadak apabila ada fenomena geologis tertentu. Luasan daerah penurunan
muka tanah dapat hanya beberapa meter persegi sampai ribuan kilometer persegi.
Menurut
Muhrozi dkk (1997) dalam Anindya (2005) akibat dari penurunan permukaan air
bawah tanah adalah menyebabkan pengurangan gaya angkat tanah sehingga terjadi
peningkatan tegangan efektif tanah. Akibat meningkatnya tegangan efektif ini
akan menyebabkan penyusutan butiran tanah dan penurunan tanah.
Menurut
BAPPEDA Semarang (2000) dalam Anindya (2005)
land subsidence juga dipengaruhi oleh sifat fisik lapisan tanah
penyusun. Penurunan muka tanah juga dapat disebabkan oleh bertambahnya beban
ataupun berkurangnya tekanan hidraulik pada lapisan tanah.
Dengan
adanya pembangunan disana-sini, pembangunan gedung-gedung tentu akan menambah beban bagi tanah itu sendiri.
Disamping itu dengan perkembangan suatu kota maka kebutuhan air tanah pun
semakin meningkat, hal ini lah yang menyebabkan pengambilan air tanah, dan
selanjutnya menjadikan berkurangnya tekanan hidraulik pada lapisan tanah.
Studi
karakteristik penurunan muka tanah diperlukan dalam penentuan pola dan laju
penurunan muka tanah. Hal ini diperlukan untuk penataan dan perencanaan wilayah
dimana membutuhkan stabilitas wilayah dalam penempatan lokasi pembangunan dan
pusat aktivitas pembangunan.
Untuk
itu diperlukan suatu sistem pemantauan dan pengukuran penurunan muka tanah baik
secara spasial maupun non-spasial secara berkala untuk mendapatkan pengetahuan
suatu wilayah secara vertikal secara baik.
Penyebab Land Subsidence
Menurut
Rapleye (1933) dalam Poland (1969) proses pengambilan air tanah yang intensif
di cekungan air tanah telah mengakibatkan penurunan muka air tanah bahkan di
negara-negara industri yang telah maju seperti yang dikemukakan Dawson (1963)
dalam Poland (1969). Kejadian ini dapat mengakibatkan kerusakan susulan pada
bangunan-bangunan di atasnya, selain itu karena elevasi daratan lebih rendah
dari elevasi muka laut dapat berakibat pula terjadinya rob dan intrusi air laut.
Dengan perkembangan sebuah kota
tentu kebutuhan atas air akan semakin meningkat, karena air merupakan salah
satu kebutuhan dasar manusia dan mahluk hidup lainnya. Bahkan ketersediaan air
bersih pada sebuah kota berperan dalam perkembangan sebuah kota, karena dapat
dipastikan manusia akan mencari tempat tinggal dimana kebutuhan air bersih akan
tercukupi.
Peningkatan kebutuhan air bagi
berbagai keperluan akibat pertambahan jumlah penduduk, kegiatan perekonomian
seperti industri, pertanian serta adanya pembangunan di berbagai sektor tentu
berdampak positif pada perkembangan suatu kota, akan tetapi meningkatnya
kebutuhan air bersih memaksa air tanah untuk digunakan secara besar-besaran.
Kemudian dengan adanya pengambilan air tanah secara besar-besaran dapat
mengakibatkan penurunan muka air tanah, ataupun penuruan permukaan tanah
(amblesan atau subsidence).
Menurut Sosrodarsono dan Takeda
(1983) berkurangnya volume air tanah menyebabkan penurunan muka air tanah, dan
dapat menyebabkan penurunan muka tanah. Hal ini dapat mengakibatkan penerobosan
air asin ke dalam air tanah.
Dari data Dinas Geologi dan Tata
Lingkungan (1999) dalam Anindya (2005) penurunan muka tanah di Kota Semarang
disebabkan adanya pemampatan tanah dan disebabkan adanya pengambilan air bawah
tanah yang berlebihan mencapai 35,639 x 105 m3/tahun.
Menurut
Terzaghi dan Peck (1993) pemompaan air tanah pada lapisan tanah lunak berupa
lanau atau gambut akan mengakibatkan land subsidence seperti yang telah terjadi
di Mexico ataupun California. Sedangkan untuk lapisan tanah berupa pasir land
subsidence dapat terjadi pada kondisi dimana mengalami getaran secara terus
menerus seperti yang telah terjadi di Belanda. Getaran secara terus menerus ini
dapat berupa adanya getaran yang disebabkan lalu lintas.
Menurut
Alaudin (2008) laju dan besarnya penurunan muka tanah di berbagai tempat
berbeda-beda, tergantung pada kondisi geologi, hidrogeologi, intensitas
pemompaan air tanah dan sifat-sifat mekanik tanah.
Faktor-Faktor Penyebab Penurunan
Muka Tanah (Land Subsidence)
Secara garis besar penurunan tanah
bisa disebabkan oleh beberapa hal antara lain (Whittaker and Reddish, 1989)
sebagai berikut:
1.
Penurunan muka tanah alami (natural
subsidence) yang disebabkan oleh proses-proses geologi seperti aktifitas
vulkanik dan tektonik, siklus geologi, adanya rongga di bawah permukaan tanah
dan sebagainya.
2.
Penurunan muka tanah yang disebabkan
oleh pengambilan bahan cair dari dalam tanah seperti air tanah atau minyak
bumi.
3. Penurunan muka tanah yang disebabkan
oleh adanya beban-beban berat diatasnya seperti struktur bangunan sehingga
lapisan-lapisan tanah dibawahnya mengalami kompaksi/konsolidasi. Penurunan muka
tanah ini sering juga disebut dengan settlement.
4. Penurunan muka tanah akibat
pengambilan bahan padat dari tanah (aktifitas penambangan).
Berdasarkan tinjauan berbagai macam pustaka, faktor-faktor penyebab terjadinya penurunan muka tanah dapat didefnisikan, sebagai berikut:
1. Pengambilan
air tanah yang berlebihan (Burbey J.T., 2005).
2. Penurunan karena beban bangunan (Quaxiang, 2001).
3. Konsolidasi alamiah lapisan tanah (Wei,Q., 2006).
4. Gaya-gaya tektonik (Chang, C.P., 2005).
5. Ekstraksi gas dan minyak bumi (Odijk, D., 2005).
6. Penambangan bawah tanah (Rizos, C., 2007).
7. Ekstraksi lumpur (Deguchi, T., 2007).
8. Patahan kerak bumi (Rahtje et al., 2003)
9. Konstraksi panas bumi di lapisan litosfer (Hamdani et al., 1994)
2. Penurunan karena beban bangunan (Quaxiang, 2001).
3. Konsolidasi alamiah lapisan tanah (Wei,Q., 2006).
4. Gaya-gaya tektonik (Chang, C.P., 2005).
5. Ekstraksi gas dan minyak bumi (Odijk, D., 2005).
6. Penambangan bawah tanah (Rizos, C., 2007).
7. Ekstraksi lumpur (Deguchi, T., 2007).
8. Patahan kerak bumi (Rahtje et al., 2003)
9. Konstraksi panas bumi di lapisan litosfer (Hamdani et al., 1994)
Land Subsidence Kota Semarang
Dalam Marsudi (2001) disebutkan
bahwa penurunan muka tanah di Semarang tercatat mulai dari tahun 1982, dengan
kisaran antara 0,5 hingga 2,2 mm per tahun. Dua faktor utama yang menjadi
penyebab terjadinya penurunan muka tanah di Semarang adalah pemakaian air tanah
dan penambahan beban akibat tanah urug. Amblesan tanah hanya terjadi di daerah
dataran rendah sedangkan di daerah perbukitan tidak ditemukan tanda-tanda
penurunan muka tanah oleh kedua faktor tersebut. Sedangkan disebutkan oleh Sarbidi
(2002) penurunan muka tanah di wilayah pantai Semarang mencapai 2-20 cm/tahun.
Kota Semarang sendiri memiliki lapisan penyusun tanah berupa tanah aluvial, karena pada periode lampau Kota Semarang bagian utara ini merupakan laut yang mengalami sedimentasi oleh lahan gambut. Sehingga dengan adanya pengambilan air tanah secara berlebihan tidak mustahil jika terjadi penurunan tanah.
Kota Semarang sendiri memiliki lapisan penyusun tanah berupa tanah aluvial, karena pada periode lampau Kota Semarang bagian utara ini merupakan laut yang mengalami sedimentasi oleh lahan gambut. Sehingga dengan adanya pengambilan air tanah secara berlebihan tidak mustahil jika terjadi penurunan tanah.
Penurunan
muka tanah cenderung pada wilayah dengan karakteristik yang didominasi oleh
jenis batuan alluvial, pada wilayah yang mengalami penurunan muka air tanah,
dan pada wilayah dengan penggunaan lahan untuk keperluan industri-industri
besar (Syarifah, 2002).
Dampak
Kenaikan Muka Air Laut
Adapula kenaikan muka air laut yang
menjadi isu akhir-akhir ini ternyata benar-benar berdampak pada kondisi
hidrografi perairan. Menurut Akil (2002) kenaikan muka laut secara umum dapat
berdampak pada bencana sebagai berikut :
1 1. Meningkatnya frekwensi dan
intensitas banjir
Dengan adanya kenaikan muka laut
dapat mengakibatkan banjir pada kondisi tempat yang memiliki elevasi lebih
rendah daripada muka air laut. Peristiwa terjadinya genangan di darat bisa
secara langsung apabila posisi daratan berbatasan langsung dengan laut. Tetapi
yang terjadi adanya peningkatan elevasi muka air laut akan masuk ke celah-celah
yaitu sungai, saluran-saluran yang
seharusnya mengalir ke arah laut terjadi sebaliknya. Sehingga melalui
saluran-saluran ini daerah yang jauh dari laut pun dapat tergenang.
2. Perubahan arus laut dan kerusakan habitat mangrove
2. Perubahan arus laut dan kerusakan habitat mangrove
Secara tidak langsung dengan
kenaikan air laut terjadi perubahan arus karena mengikuti gradien elevasi.
Perubahan dinamika perairan seperti arus, gelombang, pasut, akan mengganggu
ekosistem pesisir salah satunya adalah mangrove.
3. Meluasnya intrusi air laut
3. Meluasnya intrusi air laut
Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya karena adanya kenaikan elevasi muka laut dimana seharusnya air tanah
dapat mengalir ke laut, hal ini berlaku sebaliknya. Air dari laut akan menyusup
ke arah daratan dan bercampur dengan air tawar. Menurut Foley dalam Adhitya
(2003) peningkatan muka air laut sebesar 10 cm akan mengakibatkan penetrasi air
laut sejauh 1 km ke daratan dalam muara sungai yang datar. Keadaan ini
diperparah lagi dengan adanya penurunan muka air tanah yang disebabkan
pengambilan air tanah secara berlebihan.
4. Gangguan terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat
4. Gangguan terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat
Gangguan tersebut antara lain :
gangguan tehadap jaringan lintas kereta api di pantura, gangguan terhadap
pemukiman penduduk, hilangnya lahan-lahan budidaya seperti sawah dan tambak.
5. Berkurangnya luas daratan dan hilangnya pulau-pulau kecil
5. Berkurangnya luas daratan dan hilangnya pulau-pulau kecil
Dampak Rob Bagi
Kehidupan Masyarakat Kota Semarang
Dalam
kurun waktu 25 tahun terakhir kawasan pesisir Semarang sering mengalami banjir
rob yaitu banjir yang terjadi saat air laut mengalami pasang (Anindya, 2002).
Banjir ini dapat menggenangi daerah yang lebih rendah dari muka air laut saat
pasang tertinggi. Menurut Sarbidi (2002) kedalaman banjir rob bisa mencapai
20-60 cm dengan luas genangan mencapai 32,6 km2.
Banjir
rob telah mengganggu berbagai kepentingan di Kota Semarang, karena pada kawasan
Semarang Utara daerah yang terndam banjir dan rob banyak dimanfaatkan untuk
pemukiman, pelabuhan, industri, pariwisata, penyedia jasa transportasi, dan
lain sebagainya.
Sutarip
(2002) mengatakan bahwa dampak terjadinya banjir rob bagi masyarakat Kota
Semarang antara lain : mengganggu aktivitas perekonomian kota, merusak
infrastruktur kota, menimbulkan penyakit kulit dan diare, dan rusaknya sebagian
habitat di kawasan pesisir (mangrove, terumbu karang, perikanan tambak). Menurut
Sarbidi (2002) banjir rob akan banyak berdampak buruk terhadap kawasan kota,
rumah dan bangunan, sarana dan prasarana serta kesehatan lingkungan.
1. Dampak
bagi kawasan kota
·
Menyebabkan lahan tergenang secara
rutin.
·
Penanganan genangan dengan drainase
sistem polder membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
·
Untuk mengimabangi adanya
penggenangan dilakukan pengurugan lahan yang memerlukan biaya yang relatif
besar.
2. Dampak
bagi rumah dan bangunan
·
Lantai bangunan pada umumnya
tergenang air apabila kondisi rumah belum ditinggikan.
·
Rumah / bangunan mengalami
keretakan.
·
Lantai rumah terpaksa ditinggikan
setiap 5 tahun sekali dengan rata-rata peninggian sebesar 10-50 cm.
3. Dampak
bagi sarana dan prasarana kota
·
Jalan selalu tergenang air.
·
Perlu melakukan pengurugan untuk
meninggikan jalan di atas genangan banjir.
·
Mengganggu kelancaran lalu lintas.
·
Membutuhkan biaya untuk perawatan
jalan lebih besar.
·
Air bercampur dengan air asin
(terjadi intrusi air laut).
·
Kedalaman pipa untuk air sumur
bertambah karena jalan harus diurug.
·
Septic tank harus dikuras 2 tahun
sekali dan ditinggikan dindingnya agar tinja tidak melimpah ke atas.
4. Dampak
bagi kesehatan lingkungan
·
Penduduk banyak yang terkena
penyakit gatal-gatal pada kulit.
·
Lingkungan becek dan kotor.
·
Mengganggu kualitas air sumur.
·
Estetika buruk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar