Kamis, 25 Agustus 2011

PERMASALAHAN ROB KOTA SEMARANG
(oleh : Satriyo Panalaran)

Bencana Rob di Kota Semarang
Menurut Ir Fauzi MT dalam Suara Merdeka 24 Juni 2004, Kasie Operasi dan Pemeliharaan Pengairan DPU Kota Semarang, luapan air laut (rob) masuk lewat sungai-sungai di Semarang yang bermuara di Laut Jawa. Lantaran sungai itu tak mampu menampung luapan, rob masuk ke saluran-saluran yang menuju sungai itu. Tak selamanya saluran itu mampu menampung luapan. Sudah menjadi sifat air yang mencari daerah cekungan, maka begitu air tidak tertampung di saluran yang ada, lalu mencari wilayah-wilayah di sekitar saluran yang merupakan daerah cekungan.
Dari 62 sungai di Kota Semarang, yang paling parah dan sering disambangi rob ada empat sungai. Yakni Kali Banger, Kali Tenggang, Kali Semarang dan Kali Sringin. Luapan dari sungai itulah yang akhirnya merembes ke beberapa wilayah Kota. Kini wilayah terjauh yang digenangi rob, yakni kawasan Pasar Johar dan Jalan Pemuda. Sedangkan yang terparah di kawasan Pelabuhan Tanjung Emas dan Semarang Utara.
Banyak pendapat menyebutkan penyebab rob, karena pasang surut air laut, konsolidasi tanah di bawah Kota Semarang yang belum tuntas, penurunan tanah di pelabuhan, dan umur tanah yang masih muda sehingga cenderung labil. Pengambilan air bawah tanah secara berlebihan pun dianggap sebagai pemicu terjadinya penurunan permukaan tanah.
Lalu reklamasi pantai dianggap pula sebagai pemicu terjadinya rob. Sebab ruang bagi luapan air yang sebelumnya berada di areal tambak, sekarang sudah tak ada lagi. Diganti dengan permukiman (elite), sehingga seakan-akan manusia yang menjemput rob (bencana).
Menurut Sarbidi (2002) rob yang terjadi di Semarang disebabkan beberapa faktor, antara lain:
·         perubahan penggunaan lahan di wilayah pantai : lahan tambak, rawa, sawah yang dulu secara alami dapat menampung pasang air laut telah berubah menjadi lahan pemukiman, kawasan industri, dan pemanfaatan lainnya.
·         Penurunan muka tanah yang disebabkan adanya pembangunan secara besar-besaran di wilayah pesisir Kota Semarang dan pengambilan air tanah secara berlebihan.
·         Kenaikan muka air laut akibat efek pemanasan global.
Dalam tulisan oleh BAPPEDA (2000) rob telah menggenangi wilayah Semarang utara 27,2 km2 dan Semarang Barat 12,4 km2. Berdasarkan data wilayah drainase kedua kecamatan tersebut diperkirakan luas genangan banjir rob sekitar 32,6 km2. Hal ini dapat digambarkan seperti di bawah ini.


Land Subsidence
Penurunan muka tanah (land subsidence) merupakan suatu proses gerakan penurunan muka tanah yang didasarkan atas suatu datum tertentu (kerangka referensi geodesi) dimana terdapat berbagai macam variabel penyebabnya (Marfai, 2006).
Turunnya permukaan tanah biasanya terjadi secara perlahan-lahan, atau juga bisa terjadi secara mendadak apabila ada fenomena geologis tertentu. Luasan daerah penurunan muka tanah dapat hanya beberapa meter persegi sampai ribuan kilometer persegi.
Menurut Muhrozi dkk (1997) dalam Anindya (2005) akibat dari penurunan permukaan air bawah tanah adalah menyebabkan pengurangan gaya angkat tanah sehingga terjadi peningkatan tegangan efektif tanah. Akibat meningkatnya tegangan efektif ini akan menyebabkan penyusutan butiran tanah dan penurunan tanah.
Menurut BAPPEDA Semarang (2000) dalam Anindya (2005)  land subsidence juga dipengaruhi oleh sifat fisik lapisan tanah penyusun. Penurunan muka tanah juga dapat disebabkan oleh bertambahnya beban ataupun berkurangnya tekanan hidraulik pada lapisan tanah.
Dengan adanya pembangunan disana-sini, pembangunan gedung-gedung tentu akan  menambah beban bagi tanah itu sendiri. Disamping itu dengan perkembangan suatu kota maka kebutuhan air tanah pun semakin meningkat, hal ini lah yang menyebabkan pengambilan air tanah, dan selanjutnya menjadikan berkurangnya tekanan hidraulik pada lapisan tanah.
Studi karakteristik penurunan muka tanah diperlukan dalam penentuan pola dan laju penurunan muka tanah. Hal ini diperlukan untuk penataan dan perencanaan wilayah dimana membutuhkan stabilitas wilayah dalam penempatan lokasi pembangunan dan pusat aktivitas pembangunan.
Untuk itu diperlukan suatu sistem pemantauan dan pengukuran penurunan muka tanah baik secara spasial maupun non-spasial secara berkala untuk mendapatkan pengetahuan suatu wilayah secara vertikal secara baik.

Penyebab Land Subsidence
Menurut Rapleye (1933) dalam Poland (1969) proses pengambilan air tanah yang intensif di cekungan air tanah telah mengakibatkan penurunan muka air tanah bahkan di negara-negara industri yang telah maju seperti yang dikemukakan Dawson (1963) dalam Poland (1969). Kejadian ini dapat mengakibatkan kerusakan susulan pada bangunan-bangunan di atasnya, selain itu karena elevasi daratan lebih rendah dari elevasi muka laut dapat berakibat pula terjadinya rob dan intrusi air laut.
Dengan perkembangan sebuah kota tentu kebutuhan atas air akan semakin meningkat, karena air merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan mahluk hidup lainnya. Bahkan ketersediaan air bersih pada sebuah kota berperan dalam perkembangan sebuah kota, karena dapat dipastikan manusia akan mencari tempat tinggal dimana kebutuhan air bersih akan tercukupi.
Peningkatan kebutuhan air bagi berbagai keperluan akibat pertambahan jumlah penduduk, kegiatan perekonomian seperti industri, pertanian serta adanya pembangunan di berbagai sektor tentu berdampak positif pada perkembangan suatu kota, akan tetapi meningkatnya kebutuhan air bersih memaksa air tanah untuk digunakan secara besar-besaran. Kemudian dengan adanya pengambilan air tanah secara besar-besaran dapat mengakibatkan penurunan muka air tanah, ataupun penuruan permukaan tanah (amblesan atau subsidence).
Menurut Sosrodarsono dan Takeda (1983) berkurangnya volume air tanah menyebabkan penurunan muka air tanah, dan dapat menyebabkan penurunan muka tanah. Hal ini dapat mengakibatkan penerobosan air asin ke dalam air tanah.
Dari data Dinas Geologi dan Tata Lingkungan (1999) dalam Anindya (2005) penurunan muka tanah di Kota Semarang disebabkan adanya pemampatan tanah dan disebabkan adanya pengambilan air bawah tanah yang berlebihan mencapai 35,639 x 105 m3/tahun.
Menurut Terzaghi dan Peck (1993) pemompaan air tanah pada lapisan tanah lunak berupa lanau atau gambut akan mengakibatkan land subsidence seperti yang telah terjadi di Mexico ataupun California. Sedangkan untuk lapisan tanah berupa pasir land subsidence dapat terjadi pada kondisi dimana mengalami getaran secara terus menerus seperti yang telah terjadi di Belanda. Getaran secara terus menerus ini dapat berupa adanya getaran yang disebabkan lalu lintas.
Menurut Alaudin (2008) laju dan besarnya penurunan muka tanah di berbagai tempat berbeda-beda, tergantung pada kondisi geologi, hidrogeologi, intensitas pemompaan air tanah dan sifat-sifat mekanik tanah.

Faktor-Faktor Penyebab Penurunan Muka Tanah (Land Subsidence)
Secara garis besar penurunan tanah bisa disebabkan oleh beberapa hal antara lain (Whittaker and Reddish, 1989) sebagai berikut:
1.      Penurunan muka tanah alami (natural subsidence) yang disebabkan oleh proses-proses geologi seperti aktifitas vulkanik dan tektonik, siklus geologi, adanya rongga di bawah permukaan tanah dan sebagainya.
2.      Penurunan muka tanah yang disebabkan oleh pengambilan bahan cair dari dalam tanah seperti air tanah atau minyak bumi.
3.  Penurunan muka tanah yang disebabkan oleh adanya beban-beban berat diatasnya seperti struktur bangunan sehingga lapisan-lapisan tanah dibawahnya mengalami kompaksi/konsolidasi. Penurunan muka tanah ini sering juga disebut dengan settlement.
4. Penurunan muka tanah akibat pengambilan bahan padat dari tanah (aktifitas penambangan).

Berdasarkan tinjauan berbagai macam pustaka, faktor-faktor penyebab terjadinya penurunan muka tanah dapat didefnisikan, sebagai berikut:
1. Pengambilan air tanah yang berlebihan (Burbey J.T., 2005).
2. Penurunan karena beban bangunan (Quaxiang, 2001).
3. Konsolidasi alamiah lapisan tanah (Wei,Q., 2006).
4. Gaya-gaya tektonik (Chang, C.P., 2005).
5. Ekstraksi gas dan minyak bumi (Odijk, D., 2005).
6. Penambangan bawah tanah (Rizos, C., 2007).
7. Ekstraksi lumpur (Deguchi, T., 2007).
8. Patahan kerak bumi (Rahtje et al., 2003)
9. Konstraksi panas bumi di lapisan litosfer (Hamdani et al., 1994)

Land Subsidence Kota Semarang
Dalam Marsudi (2001) disebutkan bahwa penurunan muka tanah di Semarang tercatat mulai dari tahun 1982, dengan kisaran antara 0,5 hingga 2,2 mm per tahun. Dua faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya penurunan muka tanah di Semarang adalah pemakaian air tanah dan penambahan beban akibat tanah urug. Amblesan tanah hanya terjadi di daerah dataran rendah sedangkan di daerah perbukitan tidak ditemukan tanda-tanda penurunan muka tanah oleh kedua faktor tersebut. Sedangkan disebutkan oleh Sarbidi (2002) penurunan muka tanah di wilayah pantai Semarang mencapai 2-20 cm/tahun.
Kota Semarang sendiri memiliki lapisan penyusun tanah berupa tanah aluvial, karena pada periode lampau Kota Semarang bagian utara ini merupakan laut yang mengalami sedimentasi oleh lahan gambut. Sehingga dengan adanya pengambilan air tanah secara berlebihan tidak mustahil jika terjadi penurunan tanah.
Penurunan muka tanah cenderung pada wilayah dengan karakteristik yang didominasi oleh jenis batuan alluvial, pada wilayah yang mengalami penurunan muka air tanah, dan pada wilayah dengan penggunaan lahan untuk keperluan industri-industri besar  (Syarifah, 2002).

 Dampak Kenaikan Muka Air Laut
Adapula kenaikan muka air laut yang menjadi isu akhir-akhir ini ternyata benar-benar berdampak pada kondisi hidrografi perairan. Menurut Akil (2002) kenaikan muka laut secara umum dapat berdampak pada bencana sebagai berikut :
1    1. Meningkatnya frekwensi dan intensitas banjir
Dengan adanya kenaikan muka laut dapat mengakibatkan banjir pada kondisi tempat yang memiliki elevasi lebih rendah daripada muka air laut. Peristiwa terjadinya genangan di darat bisa secara langsung apabila posisi daratan berbatasan langsung dengan laut. Tetapi yang terjadi adanya peningkatan elevasi muka air laut akan masuk ke celah-celah yaitu sungai, saluran-saluran  yang seharusnya mengalir ke arah laut terjadi sebaliknya. Sehingga melalui saluran-saluran ini daerah yang jauh dari laut pun dapat tergenang.
2. Perubahan arus laut dan kerusakan habitat mangrove
Secara tidak langsung dengan kenaikan air laut terjadi perubahan arus karena mengikuti gradien elevasi. Perubahan dinamika perairan seperti arus, gelombang, pasut, akan mengganggu ekosistem pesisir salah satunya adalah mangrove.
3. Meluasnya intrusi air laut
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya karena adanya kenaikan elevasi muka laut dimana seharusnya air tanah dapat mengalir ke laut, hal ini berlaku sebaliknya. Air dari laut akan menyusup ke arah daratan dan bercampur dengan air tawar. Menurut Foley dalam Adhitya (2003) peningkatan muka air laut sebesar 10 cm akan mengakibatkan penetrasi air laut sejauh 1 km ke daratan dalam muara sungai yang datar. Keadaan ini diperparah lagi dengan adanya penurunan muka air tanah yang disebabkan pengambilan air tanah secara berlebihan.
4.  Gangguan terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat
Gangguan tersebut antara lain : gangguan tehadap jaringan lintas kereta api di pantura, gangguan terhadap pemukiman penduduk, hilangnya lahan-lahan budidaya seperti sawah dan tambak.
5. Berkurangnya luas daratan dan hilangnya pulau-pulau kecil

Dampak Rob Bagi Kehidupan Masyarakat Kota Semarang
Dalam kurun waktu 25 tahun terakhir kawasan pesisir Semarang sering mengalami banjir rob yaitu banjir yang terjadi saat air laut mengalami pasang (Anindya, 2002). Banjir ini dapat menggenangi daerah yang lebih rendah dari muka air laut saat pasang tertinggi. Menurut Sarbidi (2002) kedalaman banjir rob bisa mencapai 20-60 cm dengan luas genangan mencapai 32,6 km2.
Banjir rob telah mengganggu berbagai kepentingan di Kota Semarang, karena pada kawasan Semarang Utara daerah yang terndam banjir dan rob banyak dimanfaatkan untuk pemukiman, pelabuhan, industri, pariwisata, penyedia jasa transportasi, dan lain sebagainya.
Sutarip (2002) mengatakan bahwa dampak terjadinya banjir rob bagi masyarakat Kota Semarang antara lain : mengganggu aktivitas perekonomian kota, merusak infrastruktur kota, menimbulkan penyakit kulit dan diare, dan rusaknya sebagian habitat di kawasan pesisir (mangrove, terumbu karang, perikanan tambak). Menurut Sarbidi (2002) banjir rob akan banyak berdampak buruk terhadap kawasan kota, rumah dan bangunan, sarana dan prasarana serta kesehatan lingkungan.
1.    Dampak bagi kawasan kota
·      Menyebabkan lahan tergenang secara rutin.
·      Penanganan genangan dengan drainase sistem polder membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
·      Untuk mengimabangi adanya penggenangan dilakukan pengurugan lahan yang memerlukan biaya yang relatif besar.
2.    Dampak bagi rumah dan bangunan
·      Lantai bangunan pada umumnya tergenang air apabila kondisi rumah belum ditinggikan.
·      Rumah / bangunan mengalami keretakan.
·      Lantai rumah terpaksa ditinggikan setiap 5 tahun sekali dengan rata-rata peninggian sebesar 10-50 cm.
3.    Dampak bagi sarana dan prasarana kota
·      Jalan selalu tergenang air.
·      Perlu melakukan pengurugan untuk meninggikan jalan di atas genangan banjir.
·      Mengganggu kelancaran lalu lintas.
·      Membutuhkan biaya untuk perawatan jalan lebih besar.
·      Air bercampur dengan air asin (terjadi intrusi air laut).
·      Kedalaman pipa untuk air sumur bertambah karena jalan harus diurug.
·      Septic tank harus dikuras 2 tahun sekali dan ditinggikan dindingnya agar tinja tidak melimpah ke atas.
4.    Dampak bagi kesehatan lingkungan
·      Penduduk banyak yang terkena penyakit gatal-gatal pada kulit.
·      Lingkungan becek dan kotor.
·      Mengganggu kualitas air sumur.
·      Estetika buruk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar