KEJADIAN
TSUNAMI DI PULAU BALI DAN NUSA TENGGARA DAN UPAYA MITIGASINYA
(Satriyo Panalaran)
Fenomena tsunami
Secara
harfiah, tsunami berasal dari Bahasa Jepang. ‘Tsu’ berarti pelabuhan dan ‘nami’
adalah gelombang. Secara umum kita dapat definisikan tsunami adalah gelombang laut dengan perioda
panjang, yang mampu menggerakkan selurh kolom air, dan memiliki kecepatan
perambatan sangat besar. Tsunami disebabkan karena adanya gangguan impulsif
pada medium laut, contohnya : gempa bumi tektonik di laut, erupsi vulkanik di
laut, longsoran di laut, atau jatuhnya meteor di laut.
Tidak
seperti gelombang pada umunya di laut yang disebabkan oleh angin, dan berada di
laut secara kontinyu dengan periode 20 detik, atau gelombang pasut yang setiap
hari dijumpai dengan periode 12 sampai 24 jam. Tsunami terjadi apabila ada
fenomena yang menyebabkan gangguan impulsif pada kolom laut dan memiliki
periode antara 10 sampai 60 menit (Barber, 1969).
Selain
dilihat dari periode gelombang, perbedaan gelombang tsunami dengan gelombang
yang dibangkitkan oleh angin adalah terletak pada gerakolom air yang mampu
digerakkan. Gelombang yang dibangkitkan oleh angin hanya menggerakkan partikel
air laut di permukaan, namun pada gelombang tsunami menggerakkan seluruh kolom
air dari permukaan sampai dasar perairan.
Di
lokasi pusat tsunami tinggi gelombang diperkirakan 0,5 sampai 3 meter, dengan
panjang gelombang mencapai puluhan kilometer. Selain itu ciri lain dari
gelombang tsunami ialah kecepatan rambat di laut dalam berkisar antara 400
sampai 1000 km/jam dan penjalarannya dapat mencapai ribuan kilometer dari
pusatnya.
Menurut
teori gelombang perairan dangkal, ketika gelombang masuk ke perairan dangkal akan terjadi transformasi gelombang.
Keadaan ini disebabkan adanya efek shoalling yaitu tinggi gelombang bertambah
tetapi kecepatan rambat gelombang menurun. Hal ini disebabkan adanya gesekan
antara massa air dengan dasar perairan.
Untuk menghitung gelombang tsunami kita dapat melakukan dengan menggunakan Teori Gelombang Solitary yang merupakan gelombang dengan amplitudo berhingga dan non linier. Teori gelombang Solitary berlaku untuk kedalaman relatif perairan dangkal dimana seluruh perpindahan permukaan airnya berada di atas still water level.
Untuk menghitung gelombang tsunami kita dapat melakukan dengan menggunakan Teori Gelombang Solitary yang merupakan gelombang dengan amplitudo berhingga dan non linier. Teori gelombang Solitary berlaku untuk kedalaman relatif perairan dangkal dimana seluruh perpindahan permukaan airnya berada di atas still water level.
Tipe
gelombang dapat dihitung berdasarkan kedalaman relatif, yaitu dihitung berdasarkan
perbandingan antara nilai kedalaman perairan dengan panjang gelombang (d/L).
Jika
d/L < 0,05 termasuk gelombang
perairan dangkal
Jika
0,05 < d/L < 0,5 termasuk gelombang perairan menengah
Jika
d/L > 0,5 termasuk gelombang perairan dalam
Dalam
hal ini tsunami memiliki panjang gelombang yang sangat besar bila dibandingkan
kedalaman perairannya, sehingga nilai
d/L nya kurang dari 0,05 maka dalam perhitungannya tsunami dikelompokkan
sebagai tipe gelombang perairan dangkal.
Dari
efek shoalling dapat kita simpulkan bahwa kecepatan tsunami di laut dalam jauh
lebih besar daripada kecepatan rambat tsunami ketika memasuki perairan dangkal.
Pada perairan dalam kecepatan rambat tsunami dapat mencapai 400 sampai 1000
km/jam. Sebaliknya ketika tsunami berada di perairan dangkal kecepatan rambat
akan berkurang mencapai 25-100 km/jam, tetapi tinggi gelombang akan semakin
besar ketika mencapai pantai, hal ini disebabkan adanya penumpukan massa
airakibat adanya penurunan kecepatan.
Proses Terjadinya Gempa dan Tsunami
Tsunami
disebabkan karena adanya gangguan impulsif pada medium laut, contohnya : gempa
bumi tektonik di laut, erupsi vulkanik di laut, longsoran di laut, atau
jatuhnya meteor di laut. Tetapi pada umunya tsunami disebabkan oleh adanya
gempa tektonik berdasarkan pergerakan lempeng bumi.
Sedangkan baik gunung berapi maupun gempa bumi
cenderung untuk terdapat di sepanjang
sistem mid-oceanic ridge dan di sepanjang batas-batas lempeng. Hal ini
disebabkan di bawah batas antar lempeng-lempeng tersebut terdapat proses
geologi di dalam bumi. Proses geologi ini berupa adanya aliran konveksi di
lapisan litosfer. Akibatnya lempengan bumi di atasnya pun ikut bergerak saling
mendekat ataupun saling menjauhi.
Gambar. Pergerakan lempeng
bumi (Diposaptono, 2008)
Di
dalam inti bumi memiliki suhu sangat tinggi, sedangkan pada lapisan mantel
berisi cairan hasil dari lelehan batuan karena suhunya yang sangat tinggi.
Dalam keadaan ini maka pada lapisan mantel akan terjadi proses konveksi dimana
cairan yang lebih dekat dengan core akan lebih panas kemudian akan naik ke
lapisan atas, sedangkan cairan pada lapisan lebih atas turun ke bawah. Proses ini menyebabkan
pergerakan sehingga pada titik konvergen akan menggerakkan lapisan diatas
bergeser untuk menjauh satu sama lain, sedangkan pada titik divergen dapat
terjadi tumbukan antar lempeng dan dapat menyebabkan adanya gempa ataupun
terjadinya gunung-gunung baru.
Gambar.
Proses konveksi dalam mantel bumi (Diposaptono, 2008)
Menurut
teori pergerakan lempeng (tectonic plates) , di atas permukaan bumi dibagi
menjadi enam lempengan, tetapi dalam perkembangannya jumlah lempeng ini terus
bertambah karena lempeng ini terus bergerak .
Gambar.
Lempeng bumi (Diposaptono, 2008)
Indonesia merupakan negara yang
rawan dengan gempa bumi, karena jika kita perhatikan Indonesia berada di atas 3
pertemuan lempeng dunia yaitu Lempeng Eurasian, Lemoeng Indo-australian, Lempeng
Pasifik. Dan dari data pusat gempa yang telah ada, ternyata terbukti bahwa
pusat gempa umunya terjadi pada daerah-daerah yang berada di aas pertemuan
lempeng-lempeng bumi.
Gambar.
Sistem mid-oceanic ridge (Diposaptono, 2008)
Ketika
Lempeng continental dan lempeng oceanik bertemu, maka terjadi subsidensi pada
lempeng oceanik menghujam ke bawah lempeng continental. Hal ini disebakan
lempeng oseanik memiliki karakter lebih lunak dibandingkan materi penyusun dari
lempeng continental. Akibat dari pergeseran ini maka kan ada gesekan dan
tegangan antar kedua lempeng yang dapat menimbulkan patahan dan gempa.
Gambar.
Pertemuan antar lempeng continental dan lempeng oseanik (Diposaptono, 2008)
Tsunami
disebabkan oleh pergeseran vertikal lempeng bumi dibawah dasar laut dalam
dengan sumber atau pusat gempa dengan posisi dilepas pantai. Perubahan dasar
laut secara mendadak akibat patahan subduksi saat gempa diikuti pula dengan
perubahan massa air laut secara mendadak, diikuti pula dengan perubahan elevasi
muka air laut yang dapat menimbulkan gelombang air laut yang sangat panjang
(dapat mencapai 800 km) dengan periode gelombang yang sangat lama (dapat
mencapai 60 menit).
Gambar. Mekanisme Tsunami (Diposaptono, 2008)
Gelombang
tersebut menjalar dengan kecepatan sangat tinggi (dapat mencapai 800 km/jam)
secara frontal dengan arah tegak lurus terhadap bidang pergeseran subduksi pada
dasar laut. Tsunami yang terjadi dapat mengalami refraksi, defraksi, dan
shoalling, sehigga dalam penjalarannya di pantai dapat berubah menjadi
gelombang yang sangat tinggi. Tidak semua yang terjadi dilepas pantai mengakibatkan
adanya tsunami karena akan tergantung besar kecilnya magnitude dan pusat gempa.
Terjadinya
tsunami akibat gempa tektonik secara empiris jika gempa berkekuatan lebih dari
6,5 SR pusat gempa berada pada kedalaman kurang 60 km dari dasar laut, dan
deformasi vertikal dasar laut cukup besar.
Indonesia rawan gempa
Indonesia
merupakan negara yang rawan terhadap gempa, karena Indonesia terletak pada
daerah pertemuan antara tiga lempeng bumi. Ketiga lempeng itu adalah Eurasia,
Samudera Pasifik, dan lempeng Indo-Australia. Dengan adanya pertemuan antara
lempeng tersebut, maka diatas wilayah Indonesia terdapat banyak titik panas
(hot spot). Seperti yang telah kita pelajari pada proses geologis, akibat
Indonesia terletak pada daerah mid-oceanic ridge, Indonesia sangat beresiko
dengan bencana gema bumi dan tsunami.
Gambar.
Pusat kejadian gempa di bumi umumnya berada di mid oceanic ridge (Diposaptono, 2008)
Indonesia
bahkan memiliki 240 gunung api dan diantaranya 70 masif aktif dan dapat
meletus. Rangkaian busur api di Indonesia merupakan bagian dari The Pacific
Ring of Fire yang bermula dari Alaska, Jepang, Sumatera, Jawa, Bali, Lombok,
Flores, Sulawesi, dan berakhir di Filipina. Dengan demikian menurut Arnol
(1986) Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kegempaan
tinggi di dunia.
Menurut
Diposaptono (2008) hampir setiap hari terjadi gempa di Indonesia, namun tidak
semua gempa bersifat merusak tergantung besar magnitude gempa, kedalaman gempa,
jarak dari pusat gempa, kondisi geologi, dan kondisi bangunan di daerah yang
terkena gempa. Kejadian tsunami di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh gempa tektonik di sepanjang daerah subduksi dan daerah seismik aktif yang memanjang dari Papua bagian selatan, Biak, Maluku, bagian utara Sulawesi Utara, dan bagian selatan Nusa Tenggara, Bali dan Jawa, dan Bagian barat Pulau Sumatra. Selama periode tahun 1600 sampai 2007 terjadi kurang lebih 109 tsunami. Dari jumlah itu 90 persen disebabkan oleh gempa tektonik, 9 persen karena letusan gunung berapi, dan 1 persen disebabkan longsoran bawah laut.
Gambar.
Wilayah rawan gempa beserta tahun kejadian gempa yang merusak
Berdasarkan
peta rawan gempa di Indonesia telah terjadi gempa bumi di wilayah jawa Timur
dan Bali pada tahun 1958, 1967, 1972, 1976, 1979, 1994, 2004, dan 2007. Dan
pada wilayah Nusa Tenggara Timur telah terjadi gempa pada tahun 1954, 1961,
1977, 1979, 1982, 1987, 1989, 1992, 2004, dan 2007. Di wilayah Nusa Tenggara
Barat tsunami terjadi pada 1979.
Berdasarkan
hubungan antara tsunami, aktivitas kegempaan, dan karakteristik seimotektonik, Latief, et al. (2000) membagi
ke dalam enam zona seismotektonik.
Gambar.
Pembagian zona seimotektonik di Indonesia (Diposaptono, 2008)
Tabel. Aktivitas tsunami di Indonesia
|
||||
Zona
|
Daerah
|
Jumlah
|
Persentase
|
Jumlah
|
tsunami
|
kejadian
|
korban jiwa
|
||
A
|
Busur Sunda bagian barat
|
19
|
17,43
|
> 300.000
|
B
|
Busur Sunda bagian timur
|
11
|
10,09
|
3.260
|
C
|
Busur banda
|
35
|
32,11
|
5.570
|
D
|
Selat Makassar
|
9
|
8,26
|
1.020
|
E
|
Selat Maluku
|
32
|
29,36
|
7.570
|
F
|
Papua bagian utara
|
3
|
2,75
|
360
|
Zona
A telah terjadi tsunami sebanyak 19 kali, 17 diantaranya disebabkan oleh gempa
tektonik sedangkan 2 lainnya diakibatkan meletusnya gunung api bawah laut.
Tsunami NAD 2004, Nias 2005, dan Bengkulu 2007 merupakan tsunami hasil subduksi
lempeng tektonik Indo-australia dan lempeng eurasia. Sedangkan tsunami akibat
meletusnya gunung Krakatau terjadi pada tahun 1883 dan 1928. Berdsarkan data 17
tsunami diakibatkan gempa bumi yang terjadi pada tahun 1970-2007, ini berarti
periode ulang tsunami pada zona A adalah sekitar 10-15 tahun. Kontribusi
kejadian tsunami di zona A adalah 17,73 % terhadap seluruh kejadian tsunami di
Indonesia.
Zona
B meliputi Busur Sunda bagian timur terbentang antara Selat Sunda ke timur
sampai Sumba. Wilayah itu meliputi Pulau Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, dan
Sumba. Tsunami yang terjadi di zona ini 10 kali disebabkan oleh gempa tektonik,
sedangkan satu kali disebabkan meletusnya gunung api bawah laut. Kontribusi
kejadian tsunami di zona B adalah 10,09 % terhadap seluruh kejadian tsunami di
Indonesia.
Zona
C meliputi Laut banda, Flores, Timor, Kepulauan Banda, Kepulauan Tanimbar,
Seram, dan Pulau Buru. Pada zona C terjadi tsunami sebanyak 30 kali yang
disebabkan oleh gempa tektonik , 2 tsunami oleh meletusnya gunung bawah laut,
dan 1 tsunami diakibatkan oleh longsoran. Kontribusi kejadian tsunami di zona C
adalah 32,11 % terhadap seluruh kejadian tsunami di Indonesia.
Zona
D meliputi Selat Makassar dan telah terjadi terjadi sebanyak 9 kali tsunami
dalam kurun waktu 1600-2007. Kontribusi kejadian tsunami di zona D adalah 8,26
% terhadap seluruh kejadian tsunami di Indonesia.
Zona
E terletak di laut Maluku dan telah terjadi terjadi sebanyak 32 kali tsunami
dalam kurun waktu 1600-2007. Kontribusi kejadian tsunami di zona E adalah 29,36
% terhadap seluruh kejadian tsunami di Indonesia.
Zona
F berada di sebelah utara Papua. Pada zona ini telah terjadi tsunami sebanyak 3
kali dalam kurun waktu 1600-2007. Kontribusi kejadian tsunami di zona D adalah
2,75 % terhadap seluruh kejadian tsunami di Indonesia.
Melihat
dari data-data diatas rata-rata periode ulang tsunami pada tiap zona yaitu
antara 10-15 tahun. Rekor tinggi run-up tsunami paling besar di Indonesia yaitu
pada tahun 1883 saat meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda. Pada saat
tersebut tinggi run-up tsunami mencapai 41 meter. Dan dilihat dari jumlah
korbannya Tsunami Aceh pada tahun 2004 memakan korban paling banyak di
Indonesia bahkan di dunia.
Tsunami di Bali dan Nusa Tenggara
Gambar.
Peta potensi tsunami Pulau Bali (BAPPEDA Prov. Bali)
Bali merupakan pulau yang sering
mengalami gempa, berikut adalah tabel kejadian gempa bumi di Bali dari tahun
1862 sampai 2004.
Tabel. Kejadian tsunami di Wilayah Bali dan Nusa Tenggara pada
tahun 1961 - 2007
|
|||||
No
|
Tahun
|
Pusat Gempa
|
Run-up
|
Koban Jiwa
|
Daerah bencana
|
maksimum
|
|||||
1
|
1961
|
8,2 LS - 122,0 BT
|
?
|
6
|
NTT, Flores
|
2
|
1977
|
11,1 LS - 118,5 BT
|
?
|
316
|
NTB, P.Sumbawa
|
3
|
1977
|
8,0 LS - 125,3 BT
|
?
|
25
|
NTT, Flores, P. Atauro
|
4
|
1979
|
8,4 LS - 115,9 BT
|
?
|
200
|
NTB, P.Sumbawa, Bali, dan Lombok
|
5
|
1982
|
8,4 LS - 123,0 BT
|
?
|
400
|
NTT, Larantuka
|
6
|
1987
|
8,4 LS - 124,3 BT
|
?
|
108
|
NTT, Flores Timur, P.PAntar
|
7
|
1989
|
8,1 LS - 125,1 BT
|
?
|
7
|
NTT, P.Alor
|
8
|
1992
|
8,5 LS - 121,9 BT
|
11,2-26,2
|
2.126
|
NTT, Flores, P. Babi
|
Pantai
barat Sumatera, pantai selatan Jawa, Bali, NTB, dan NTT merupakan daerah yang
rawan gempa disertai oleh tsunami. Karena pada wilayah itu merupakan tempat
pertemuan antara Lempeng Eurasia dan Lempenh Indo-australia. Lempeng Samudera
Indo-australia ters bergerak menujam lempeng benua Eurasia. Bagian dari ujung
lempeng benua Eurasia tertarik turun secara berangsur-angsur dan terus-menerus
sehingga terjadi akumulasi tegangan.
Akibat
akumulasi tegangan yang mencapai batasnya maka terjadi gempa dan ujung lempeng
benua Eurasia melenting ke atas. Pergerakan vertikal ujung lempeng benua
Eurasia ini menimbulkan gangguan impulsif medium laut yang dapat menyebabkan
terjadinya tsunami.
Yugo Kumoro, Kepala Bidang Geologi
Teknik dan Konservasi Kebumian Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia, mengatakan sejak 1629 sampai 2006 sudah tercatat 54
gempa berskala besar di kawasan Bali dan Nusa Tenggara. Dari 54 gempa tersebut
sebanyak 20 kali disertai dengan ombak tsunami.
Contoh kejadian Gempa 1977
Pada 19 Agustus 1977 sebuah gempa
bumi besar terjadi di selatan Kepulauan Sunda Kecil (wilayah Nusa Tenggara), di
barat Pulau Sumba. Menurut catatan ini merupakan gempa terbesar
sepanjang Palung jawa dalam beberapa dekade. Gempa ini meliputi Bali, Lombok,
Sumbawa, Sumba, Flores, Timor, Alor, dan pulau-pulau lain yang berdekatan. Dari
gempa ini terbentuk tsunami di sepanjang Pantai Sumba, Sumbawa, Lombok, dan
Bali.
Gempa ini terjadi pada pukul
06:08:52 waktu setempat. Pusat gempa pada 11,09 S dan 118,46 E dengan besar 7,7
SR. Bahkan menurut catatan getaran dari gempa mencapai Perth, Australia. Di
Sumbawa dan Bima gempa ini mengakibatkan kerusakan parah pada gedung-gedung dan
sarana kota. Gempa dan tsunami ini menyebabkan 107 korban jiwa meninggal dunia
di wilayah Nusa Tenggara, sebanyak 440 rumah hancur, 467 perahu hilang, 5
bangunan sekolah hancur.
Survei
terhadap wilayah pesisir di Pulau Sumba, Sumbawa, Lombok, dan Bali dilakukan
oleh Intergovermental Oceanographi Commission (IOC) dan oleh NOAA dibantu oleh
Lembaga Meteorologi dan Geofisika Departemen Perhubungan yang dipimpin oleh Dr.
Susanto.
Gempa ini menghasilkan tsunami
dengan ketinggian gelombang mencapai 15 meter di pesisir Indonesia yang
berdekatan dengan pusat gempa, bahkan di Autralia pun terjadi tsunami. Di Kuta,
Bali tercatat 1 orang tewas, 5 rumah roboh, 26 perahu rusak atau hilang. Di
Lombok tercatat 20 orang tewas, 115 rumah rusak, 132 perahu hilang atau rusak.
Di Sumbawa tercatat 81 orang tewas, 53 orang hilang, 63 rumah dan 1 gedung
sekolah hancur. Menurut studi yang ada di Pilau Sumbawa gelombang mencapai 15
meter di atas air pasang dan menembus sekitar 500 meter ke pedalaman.
Contoh kejadian Gempa Flores 1992
Gempa
tektonik yang terjadi di Flores pada 1992 dan berkekuatan 7,5 SM telah
menyebabkan tsunami. Dimana gempa
tersebut menyebabkan gelombang dengan ketinggian 26 meter di daerah pantai.
Gempa tersebut berhasil meruntuhkan seluruh bangunan di kawasan pesisir dan
tercatat 1.713 orang meninggal dunia.
Gempa
terjadi pada pada 12 Desember 1992 pukul 13:30 WIT dengan kekuatan gempa 7,8
skala Ritcher. Gempa tersebut berpusat di 8,5° LS - 121,9° BT yaitu di lepas pantai utara Flores. Dasar laut
tiba-tiba naik 1,3 meter, mengangkat seluruh air di kolom lautan dan
menimbulkan tsunami besar. Tsunami di lepas pantai utara Flores menghantam
ujung bagian timur Pulau Flores.
Desa Wuring yang
dibangun di atas daratan pasir setinggi 1,6 meter dalam kondisi berbahaya.
Gelombang tsunami menghantam ujung timur Pulau Flores dengan ketinggian 3,3 meter di Desa Wuring.
Tsunami di wilayah tersebut menghasilkan 80 persen rumah bambu di desa tersebut
hancur dan 87 orang tewas. Perahu-perahu nelayan yang ditambatkan di pantai
terlempar menghantam rumah-rumah.
Beberapa bangunan yang masih kokoh termasuk diantaranya masjid-masjid
yang dibangun dari batu bata.
Di ujung timur dari
pantai utara Pulau Flores, tsunami masuk ke daratan dengan ketinggian lebih
dari 10 meter. Sementara itu di Desa Riang-Roko ketinggian tsunami mencapai 26
meter dan menggenangi daratan sejauh 660 meter. Pelabuhan larantuka pun terkena
gelombang tsunami bahkan hanya 2 menit setelah terjadinya gempa.
Di Pulau Babi, pulau
dengan diameter kurang dari 2,4 km berjarak 4,8 km dari pusat gempa. Sekilas
daerah tersebut terlindung dari gelombang samudera dan gelombang oleh angin
lokal karena dilindungi oleh terumbu karang yang luas. Tetapi nyatanya Pulau
Babi tetap terkena dampak dari Tsunami Flores 1992.
Hanya tiga menit setelah
terjadinya gempa, tsunami mendekati Pulau babi. Gelombang terbelah menjadi dua
di sekitar perairan tersebut. Satu
gelombang mengitari bagian timur Pulau babi sedangkan satu gelombang yang lain
mengitari bagian barat. Kedua gelombang tersebut mengitari Pulau Babi dan
bertemu di bagian selatan yang terlindung.
Tumbukan antara kedua
gelombang tersebut menyebabkan ketinggian gelombang semakin naik. Beberapa
ilmuwan menyimpulkan tsunami semakin besar karena sebagian dari energi gelombang
telah menghantam pantai Pulau Flores dan dipantulkan sebagai gelombang balik.
Dengan tenaga perusak yang jauh lebih besar dari sebelumnya, maka telah
menghancurkan kedua desa di Pulau tersebut.
Dari bencana yang telah
terjadi di Flores pada tahun 1992 ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan kedepannya,
antara lain : tidak adanya rencana evakuasi apabila terjadi bencana, hampir
semua masyarakat tidak memiliki informasi tentang tsunami. Respon masyarakat
ketika mereka melihat gelombang tinggi masuk ke perairan adalah dengan berlari.
Padahal tanpa adanya perencanaan dalam mitigasi, tidak semua orang mampu
berlari dengan cepat termasuk anak-anak, orang lanjut usia, dan orang-orang
lumpuh.
Beberapa gambar setelah
terjadinya Tsunami Flores 1992 :
Kawasan Pertokoan
Tanda-tanda tsunami
Untuk
menghindari korban dalam jumlah yang besar, sebaiknya masyarakat diajarkan
mengenai tanda-tanda yang langsung dapat dilihat di alam. Tsunami dapat ditandai
sebagai berikut : biasanya didahului oleh terjadinya gempa, air laut surut
secara mendadak, ketika gelombang tsunami telah mendekati perairan maka akan
terdengar suara gemuruh. Selain itu terkadang disertai dengan adanya bau garam
yang sangat kuat secara tiba-tiba.
Ketika
air surut secara mendadak, ikan-ikan akan terlihat menggelepar di pantai yang
airnya telah surut secara tiba-tiba. Biasanya masyarkat akan memanfaatkan
kesempatan ini untuk mengumpulkan ikan
sebanyak-banyaknya , tetapi pada terjadinya tsunami ketika air laut telah surut
secara mendadak kemudian datang
gelombangg dengan tinggi yang besar dan kecepatan yang lebih cepat dari
gelombang pada umumnya.Hal ini dapat menyebabkan banyaknya korban jiwa jika
tidak ada sistem peringatan dini yang tepat.
Banyak nya korban jiwa disebabkan
ketidaktahuan mereka tentang tanda-tanda alam terjadinya tsunami. Pada beberapa
kejadian tsunami ketika air laut surut secara mendadak, beberapa dari mereka
terlihat mencari ikan atau kepiting-kepiting kecil yang terdampar di dasar.
Dampak terjadinya tsunami
Ketika tsunami memasuki daratan,
tinggi gelombang tsunami ini dapat mencapai 10 meter.Karena energi potensial
dari tinggi gelombang ini tentu dapat menghancurkan kehidupan pantai ataupun
bangunan-bangunan termasuk rumah-rumah di dekat pantai.
Meskipun tsunami yang memasuki daratan
tidak memiliki tinggi gelombang yang besar, tetapi limpahan air dalam volume
besar ke arah daratan ini membawa debit air yang dapat memindahkan suatu benda
dari satu tempat ke tempat lain, ataupun bersifat merusak. Selain itu kembalinya
air ke laut (run-down) dapat menyeret segala sesuatu kembali ke laut.
Akibat kekuatan tsunami yang begitu
besar dapat merobohkan bangunan-bangunan, merusak jalan, merusak jaringan
listrik, dan telekomunikasi. Bahkan dapat memindahkan benda-benda berat ke
lokasi lain sehingga menyebabkan kerusakan pada benda-benda lain yang
terbenturnya.
Selain
kerusakan sarana kota, pada saat terjadi tsunami menyebabkan gangguan pada
sarana air bersih karena air tawar telah tercampur air laut, dan keruh karena
membawa sedimen-sedimen tersuspensi. Akibat dari kerusakan air di darat maka
berimbas juga pada lahan pertanian, lahan perikanan tambak.
Tumbuhan pepohonan pun banyak yang mati ataupun tumbang mendapat gempuran tsunami. Namun pada daerah pesisir yang banyak ditumbuhi mangrove dengan lebat dan rapat, maka sedikit banyak dapat mengurangi efek dari tsunami karena struktur komunitas mangrove ini dapat meredam energi tsunami.
Penyelamatan diri ketika terjadi tsunami
Berikut adalah hal-hal yang perlu dilakukan apabila datang tanda-tanda tsunami :
Tumbuhan pepohonan pun banyak yang mati ataupun tumbang mendapat gempuran tsunami. Namun pada daerah pesisir yang banyak ditumbuhi mangrove dengan lebat dan rapat, maka sedikit banyak dapat mengurangi efek dari tsunami karena struktur komunitas mangrove ini dapat meredam energi tsunami.
Penyelamatan diri ketika terjadi tsunami
Berikut adalah hal-hal yang perlu dilakukan apabila datang tanda-tanda tsunami :
·
Jika berada di sekitar
pantai, terasa ada guncangan gempabumi, air laut dekat pantai surut secara
tiba-tiba sehingga dasar laut terlihat, segeralah lari menuju ke tempat yang
tinggi (perbukitan atau bangunan tinggi) sambil memberitahukan teman-teman yang
lain.
·
Jika sedang berada di dalam
perahu atau kapal di tengah laut serta mendengar berita daripantai telah
terjadi tsunami, jangan mendekat ke pantai. Arahkan perahu ke laut.
·
Jika gelombang pertama telah
datang dan surut kembali, jangan segera turun ke daerah yang rendah. Biasanya
gelombang berikutnya akan menerjang.
·
Jika gelombang telah
benar-benar mereda, lakukan pertolongan pertama pada korban.
Identifikasi daerah rawan bencana
Analisis bahaya tsunami bertujuan untuk mengidentifikasi daerah yang akan terkena bahaya tsunami. Setidaknya ada dua metode untuk mengidentifikasi yaitu simulasi hubungan antara pembangkit tsunami dengan tinggi gelombang tsunami, dan memetakan hubungan sumber tsunami dengan terjadinya gelombang tsunami berdasar sejarah terjadinya tsunami, kemudian diidentifikasi dan dipetakan lokasi yang terkena dampak tsunami.
Analisis kerentanan bahaya tsunami bertujuan untuk mengidentifikasi dampak terjadinya tsunami yang berupa jumlah korban jiwa, kerugian ekonomi, baik dalam jangka pendek dan jangka panjang akibat kerusakan yang ditimbulkan. Analisis kerentanan ini didasarkan pada aspek kepadatan penduduk, tingkat ketergantungan ekonomi masyarakat, keterbatasan akses transportasi, informasi, tingkat pendidikan dan kesadaran masyarakat. Hal-hal inilah yang mempengaruhi kerentanan terhadap bahaya tsunami. Sedangkan analisis ketahanan ditujukan untuk mengidentifikasi kemampuan pemerintah dan masyarakat untuk merespon terjadinya bencana tsunami sehingga mampu mengurangi dampaknya. Analisis ini dapat diidentifikasi dari beberapa aspek, di antaranya jumlah tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk, kemampuan mobilitas masyarakat dalam evakuasi dan penyelamatan dan ketersediaan peralatan yang dapat dipergunakan untuk evakuasi.
Analisis bahaya tsunami bertujuan untuk mengidentifikasi daerah yang akan terkena bahaya tsunami. Setidaknya ada dua metode untuk mengidentifikasi yaitu simulasi hubungan antara pembangkit tsunami dengan tinggi gelombang tsunami, dan memetakan hubungan sumber tsunami dengan terjadinya gelombang tsunami berdasar sejarah terjadinya tsunami, kemudian diidentifikasi dan dipetakan lokasi yang terkena dampak tsunami.
Analisis kerentanan bahaya tsunami bertujuan untuk mengidentifikasi dampak terjadinya tsunami yang berupa jumlah korban jiwa, kerugian ekonomi, baik dalam jangka pendek dan jangka panjang akibat kerusakan yang ditimbulkan. Analisis kerentanan ini didasarkan pada aspek kepadatan penduduk, tingkat ketergantungan ekonomi masyarakat, keterbatasan akses transportasi, informasi, tingkat pendidikan dan kesadaran masyarakat. Hal-hal inilah yang mempengaruhi kerentanan terhadap bahaya tsunami. Sedangkan analisis ketahanan ditujukan untuk mengidentifikasi kemampuan pemerintah dan masyarakat untuk merespon terjadinya bencana tsunami sehingga mampu mengurangi dampaknya. Analisis ini dapat diidentifikasi dari beberapa aspek, di antaranya jumlah tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk, kemampuan mobilitas masyarakat dalam evakuasi dan penyelamatan dan ketersediaan peralatan yang dapat dipergunakan untuk evakuasi.
Mitigasi Bencana
Dalam
penanganan sebuah bencana tanpa adanya persiapan, penanganan ini lebih
ditekankan pada saat telah terjadi bencana. Hal ini berakibat pada kerugian
yang sangat besar karena terjadi kehancuran besar di sana-sini. Untuk itu dalam
upaya meminimalkan dampak yang dapat terjadi perlu adanya persiapan penanganan
sebelum terjadinya bencana melalui pendekatan resiko. Yaitu dengan upaya-upaya
pencegahan, mitigasi, dan kesiasiagaan.
Mitigasi bencana merupakan kegiatan yang amat penting dalam penanggulangan bencana, karena kegiatan ini merupakan kegiatan sebelum terjadinya bencana yang dimaksudkan untuk mengantisipasi agar dampak yang ditimbulkan dapat dikurangi. Masyarakat yang berada di daerah rawan bencana maupun yang berada di luar sangat besar perannya, sehingga perlu ditingkatkan kesadarannya, kepeduliannya dan kecintaannya terhadap alam dan lingkungan hidup serta kedisiplinannya terhadap peraturan dan norma-norma yang ada.
Pada sebuah siklus mitigasi ditekankan pada pengelolaan bencana dimulai dari pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, pemulihan (rehabilitasi dan rekontruksi), serta pembangunan. Pencegahan merupakan tahap awal, sebab pencegahan merupakan upaya untuk menghambat atau menghilangkan beragam bahaya yang bisa terjadi. Dalam bencana gempa dan tsunami pencegahan sangat sulit untuk dilakukan karena kita tidak tahu kapan itu bisa terjadi, dan seberapa besar gempa atau tsunami tersebut. Sehingga yang bisa kita lakukan adalah meminimalkan dampak bagi masyarakat apabila terjadi gempa dan tsunami.
Salah satu upaya dalam mitigasi adalah memberi peringatan dini. Langkah ini bertujuan agar masyarakat bersiap diri menghadap bencana yang bakal terjadi. Dari kesiapsiagaan ini keselamatan manusia ditentukan. Siap siaga merupakan segala upaya untuk menghadapi atau mengantisipasi bencana yang mungkin terjadi. Pada tahap ini masyarakat yang berada di daerah rawan bencana telah memiliki pengetahuan yang cukup tentang bagaimana mereka harus menyelamatkan diri mereka, melalui sosialisasi-sosialisasi sebelumnya.
Begitu bencana terjadi, langkah yang dilakukan adalah menangani korban dengan dengan kegiatan tanggap darurat secara tepat dan cepat. Korban perlu segera mendapatkan bantuan berupa makanan, minuman, obat-obatan, dan tempat penampungan. Pemerintah pun harus berupaya agar fasilitas-fasilitas air bersih dan listrik dapat segera terpenuhi kembali.
Jika kondisi telah relatif tenang tahap berikutnya adalah pemulihan yang meliputi rehabilitasi dan rekontruksi. Proses rehabilitasi bertujuan untuk membantu masyarakat terkena bencana agar pulih kembali, dan rekontruksi untuk membangun kembali sarana-prasarana di lokasi bencana sehingga lebih baik dari kondisi sebelumnya.
Selain hal tersebut diatas perlu dipikirkan pula penerapan pengelolaan pesisir terpadu (integrated coastal management) untuk mitigasi bencana. Pendekatan ini ditujukan untuk mengalokasikan atau memanfaatkan sumber daya dan daya dukung lingkungan suatu wilayah pesisir yang mencakup suatu kesatuan dalam perencanaan, penggunaan lahan atau peruntukan, pemeliharaan, kontrol, evaluasi, rehabilitasi, pembangunan dan konservasi lingkungan pesisir.
Mitigasi bencana merupakan kegiatan yang amat penting dalam penanggulangan bencana, karena kegiatan ini merupakan kegiatan sebelum terjadinya bencana yang dimaksudkan untuk mengantisipasi agar dampak yang ditimbulkan dapat dikurangi. Masyarakat yang berada di daerah rawan bencana maupun yang berada di luar sangat besar perannya, sehingga perlu ditingkatkan kesadarannya, kepeduliannya dan kecintaannya terhadap alam dan lingkungan hidup serta kedisiplinannya terhadap peraturan dan norma-norma yang ada.
Pada sebuah siklus mitigasi ditekankan pada pengelolaan bencana dimulai dari pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, pemulihan (rehabilitasi dan rekontruksi), serta pembangunan. Pencegahan merupakan tahap awal, sebab pencegahan merupakan upaya untuk menghambat atau menghilangkan beragam bahaya yang bisa terjadi. Dalam bencana gempa dan tsunami pencegahan sangat sulit untuk dilakukan karena kita tidak tahu kapan itu bisa terjadi, dan seberapa besar gempa atau tsunami tersebut. Sehingga yang bisa kita lakukan adalah meminimalkan dampak bagi masyarakat apabila terjadi gempa dan tsunami.
Salah satu upaya dalam mitigasi adalah memberi peringatan dini. Langkah ini bertujuan agar masyarakat bersiap diri menghadap bencana yang bakal terjadi. Dari kesiapsiagaan ini keselamatan manusia ditentukan. Siap siaga merupakan segala upaya untuk menghadapi atau mengantisipasi bencana yang mungkin terjadi. Pada tahap ini masyarakat yang berada di daerah rawan bencana telah memiliki pengetahuan yang cukup tentang bagaimana mereka harus menyelamatkan diri mereka, melalui sosialisasi-sosialisasi sebelumnya.
Begitu bencana terjadi, langkah yang dilakukan adalah menangani korban dengan dengan kegiatan tanggap darurat secara tepat dan cepat. Korban perlu segera mendapatkan bantuan berupa makanan, minuman, obat-obatan, dan tempat penampungan. Pemerintah pun harus berupaya agar fasilitas-fasilitas air bersih dan listrik dapat segera terpenuhi kembali.
Jika kondisi telah relatif tenang tahap berikutnya adalah pemulihan yang meliputi rehabilitasi dan rekontruksi. Proses rehabilitasi bertujuan untuk membantu masyarakat terkena bencana agar pulih kembali, dan rekontruksi untuk membangun kembali sarana-prasarana di lokasi bencana sehingga lebih baik dari kondisi sebelumnya.
Selain hal tersebut diatas perlu dipikirkan pula penerapan pengelolaan pesisir terpadu (integrated coastal management) untuk mitigasi bencana. Pendekatan ini ditujukan untuk mengalokasikan atau memanfaatkan sumber daya dan daya dukung lingkungan suatu wilayah pesisir yang mencakup suatu kesatuan dalam perencanaan, penggunaan lahan atau peruntukan, pemeliharaan, kontrol, evaluasi, rehabilitasi, pembangunan dan konservasi lingkungan pesisir.
Upaya Mitigasi Bencana Gempa Bumi dan Tsunami
Dalam
upaya mitigasi bencana tsunami dapat dilakukan dengan membangun secara fisik
(struktural) maupun non fisik (non struktural). Upaya fisik dalam menangani
bencana tsunami adalah upaya teknis untuk bertujuan merdam energi gelombang
yang dapat menghancurkan kehidupan di darat. Secara fisik untuk meminimalkan
bencana dapat dilakukan dengan sarana buatan yaitu dengan pembangunan breakwater,
sea wall, rumah tahan gempa dan tsunami ataupun secara alami dengan
melestarikan vegetasi pantai yaitu mangrove, selain itu perlu adanya penataan
ruang yang tepat untuk dapat meminimalkan korban tsunami di kawasan pesisir.
Upaya
mitigasi bencana tsunami nonstruktural dalam menangani bencana tsunami adalah
upaya non teknis yang menyangkut penyesuaian dan pengaturan tentang kegiatan
manusia agar sesuai dengan upaya mitigasi struktural. Untuk kegiatan nonfisik
dapat dilakukan dengan antisipasi berupa pembuatan Peta Rawan Bencana,
kebijakan tentang standarisasi bangunan, kebijakan tentang eksplorasi dan
kegiatan perekonomian masyarakat pantai, sistim peringatan dini, tata ruang
yang tepat, penyadaran masyarakat akan bencana, penyuluhan dalam kesiapsiagaan
menghadapi bencana, dan masih banyak lagi.
- Membangun bangunan vital/strategis atau bangunan lainnya yang dapat menampung banyak manusia di wilayah rawan gempabumi dan tsunami menggunakan konstruksi yang tahan terhadap gempa.
- Membangun bangunan vital/strategis atau bangunan lainnya yang dapat menampung banyak manusia di wilayah rawan gempabumi dan tsunami menggunakan konstruksi yang tahan terhadap gempa.
·
Tidak membangun permukiman dan
aktifitas penduduk diatas atau dibawah tebing.
·
Tidak mendirikan bangunan
diatas tanah timbunan yang tidak memenuhi tingkat kepadatan yang sesuai dengan
daya dukung tanah terhadap konstruksi bangunan diatasnya.
·
Pemetaan mikrozonasi di
wilayah rawan gempa bumi.
·
Perlu adanya RUTR dan RTRW
yang dituangkan dalam peraturan daerah yang berwawasan dan mempertimbangkan
aspek kebencanaan sehingga prinsip bangunan berkelanjutan dapat tercapai.
·
Membangun kewaspadaan
masyarakat dan pemerintah daerah melalui pelatihan antisipasi jika
sewaktu-waktu terjadi gempa bumi.
·
Menyiapkan alur dan tempat
evakuasi bencana.
·
Menyelenggarakan pendidikan
dini melalui jalur pendidikan formal dan non-formal tentang gempa bumi, bahayanya,
dan bagaimana cara penyelamatan diri ketika terjadi bencana.
·
Membangun alur dan tempat
pengungsian serta bukit-bukit untuk menghindar dari gelombang tsunami.
·
Perencanaan letak bangunan
di daerah pantai harus memperhatikan tipe kerusakan yang dapat ditimbulkan
yaitu kerusakan struktural bangunan akibat gaya hidrodinamik gelombang.
Beberapa
pedoman untuk membangun sebuah bangunan di daerah pantai, adalah: sisi panjang
dari struktur bangunan sedapat mungkin diarahkan sejajar dengan arah penjalaran
gelombang, sisi pendek dari struktur bangunan sejajar dengan garis pantai.
Shear
wall atau lateral beacing ditempatkan searah dengan arah penjalaran gelombang
tsunami. lantai terbawah dari struktur bangunan bertingkat dibuat terbuka
total, dinding sisi bawah dibuat dari bahan yang mudah pecah, supaya gelombang
tsunami dapat lewat dengan leluasa. Pondasi bangunan bersifat menerus, akrena
memiliki ketahanan yang jauh lebih baik untuk menahan gerusan akibat arus
gelombang tsunami. Disamping itu, bangunan harus direncanakan tahan gempa yang
kemungkinan akan menerima beban gempa sebelum di datangi tsunami. Juga
direncanakan adanya perhitungan ketahanan terhadap benturan benda keras (kapal,
bangunan lepas pantai, ramb-rambu laut, dan sebagainya yang terbawa arus
kecepatan sangat tinggi dari gelombang tsunami.
Karakteristik
gaya hidrodinamik yang ditimbulkan oleh tsunami dapat memperkirakan analisis
secara rinci terhadap kerusakan struktural bangunan di daerah pantai. Informasi
tersebut sangat diperlukan untuk mengembangkan pedoman perancangan sistem
struktur tahan tsunami.
Kendala dalam mitigasi bencana
Pelaksanaan mitigasi bencana tsunami sendiri tidak lepas dari sejumlah kendala. Kendala tersebut disebabkan, pertama, kejadian tsunami di Indonesia pada umumnya adalah tsunami lokal yang terjadi sekitar 10-20 menit setelah terjadinya gempa bumi dirasakan masyarakat. Pada saat ini, sistem monitoring yang dimiliki Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) memerlukan waktu 30 menit sampai 3 jam untuk menyelesaikan proses di atas.
Kedua, belum terintegrasinya sistem pengamatan dengan kondisi riil di lapangan disebabkan minimnya stasiun pengamatan yang ada. Ketiga, belum adanya mekanisme komunikasi antar stasiun pengamatan dan instansi terkait. Dan keempat, upaya penanganan kendala mitigasi akan efektif jika mekanisme komunikasi dan desiminasi hasil pemantauan terjadinya aktivitas gempa bumi, longsoran dasar laut, serta letusan gunung api bawah laut yang dapat memicu terjadinya tsunami dapat secara langsung diterima masyarakat.
Mengingat besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh bencana tsunami di Aceh dan disekitarnya, maka perlu segera dilakukan berbagai upaya secara menyeluruh tentang tsunami di Indonesia. Untuk mengantisipasi dampak bencana terutama tsunami dan berbagai permasalahan pesisir tersebut, perlu diupayakan suatu strategi dan kebijakan yang bersifat reaktif dan proaktif.
Secara proaktif pemerintah juga menyusun kebijakan dan program jangka panjang yang bertujuan mengatasi permasalahn pesisir pulau-pulau kecil. Bentuk kebijakan ini antara lain pembuatan pedoman umum dan menyusun peraturan perundang-undangan yang didalamnya akan mengatur juga tentang bencana alam di wilayah pesisir.
Untuk itu dalam upaya meningkatkan upaya mitigasi pasca bencana tsunami tersebut, beberapa hal yang penting, untuk manjadi bahan pemikiran bersama untuk segera di tindaklanjuti, di antaranya UU Pengelolaan Wilayah Pesisir, penataan ruang di wilayah pesisir dan laut, building code bangunan, sistem perlindungan, serta early warning system, dan SAR. Dengan adanya sistem perlindungan yang memadai dan struktur yang kuat, building code bangunan yang baik dan sesuai dengan kaidah-kaidah lingkungan setempat, dampak kerusakan akibat tsunami akan dapat diminimalisasikan. Jika sistem peringatan dini (early warning system) yang berupa informasi tsunami dan gempa bumi pada sistem pengamatan terdiri dari beberapa proses sebelum statusnya menjadi peringatan, yaitu deteksi, perhitungan hypocenter, perkiraan tsunami, dan perkiraan resiko berjalan dengan baik, dampak korban jiwa dapat diminimalkan sekecil mungkin.
Kendala dalam mitigasi bencana
Kedua, belum terintegrasinya sistem pengamatan dengan kondisi riil di lapangan disebabkan minimnya stasiun pengamatan yang ada. Ketiga, belum adanya mekanisme komunikasi antar stasiun pengamatan dan instansi terkait. Dan keempat, upaya penanganan kendala mitigasi akan efektif jika mekanisme komunikasi dan desiminasi hasil pemantauan terjadinya aktivitas gempa bumi, longsoran dasar laut, serta letusan gunung api bawah laut yang dapat memicu terjadinya tsunami dapat secara langsung diterima masyarakat.
Mengingat besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh bencana tsunami di Aceh dan disekitarnya, maka perlu segera dilakukan berbagai upaya secara menyeluruh tentang tsunami di Indonesia. Untuk mengantisipasi dampak bencana terutama tsunami dan berbagai permasalahan pesisir tersebut, perlu diupayakan suatu strategi dan kebijakan yang bersifat reaktif dan proaktif.
Secara proaktif pemerintah juga menyusun kebijakan dan program jangka panjang yang bertujuan mengatasi permasalahn pesisir pulau-pulau kecil. Bentuk kebijakan ini antara lain pembuatan pedoman umum dan menyusun peraturan perundang-undangan yang didalamnya akan mengatur juga tentang bencana alam di wilayah pesisir.
Untuk itu dalam upaya meningkatkan upaya mitigasi pasca bencana tsunami tersebut, beberapa hal yang penting, untuk manjadi bahan pemikiran bersama untuk segera di tindaklanjuti, di antaranya UU Pengelolaan Wilayah Pesisir, penataan ruang di wilayah pesisir dan laut, building code bangunan, sistem perlindungan, serta early warning system, dan SAR. Dengan adanya sistem perlindungan yang memadai dan struktur yang kuat, building code bangunan yang baik dan sesuai dengan kaidah-kaidah lingkungan setempat, dampak kerusakan akibat tsunami akan dapat diminimalisasikan. Jika sistem peringatan dini (early warning system) yang berupa informasi tsunami dan gempa bumi pada sistem pengamatan terdiri dari beberapa proses sebelum statusnya menjadi peringatan, yaitu deteksi, perhitungan hypocenter, perkiraan tsunami, dan perkiraan resiko berjalan dengan baik, dampak korban jiwa dapat diminimalkan sekecil mungkin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar