Kamis, 25 Agustus 2011

PERMASALAHAN ROB KOTA SEMARANG
(oleh : Satriyo Panalaran)

Bencana Rob di Kota Semarang
Menurut Ir Fauzi MT dalam Suara Merdeka 24 Juni 2004, Kasie Operasi dan Pemeliharaan Pengairan DPU Kota Semarang, luapan air laut (rob) masuk lewat sungai-sungai di Semarang yang bermuara di Laut Jawa. Lantaran sungai itu tak mampu menampung luapan, rob masuk ke saluran-saluran yang menuju sungai itu. Tak selamanya saluran itu mampu menampung luapan. Sudah menjadi sifat air yang mencari daerah cekungan, maka begitu air tidak tertampung di saluran yang ada, lalu mencari wilayah-wilayah di sekitar saluran yang merupakan daerah cekungan.
Dari 62 sungai di Kota Semarang, yang paling parah dan sering disambangi rob ada empat sungai. Yakni Kali Banger, Kali Tenggang, Kali Semarang dan Kali Sringin. Luapan dari sungai itulah yang akhirnya merembes ke beberapa wilayah Kota. Kini wilayah terjauh yang digenangi rob, yakni kawasan Pasar Johar dan Jalan Pemuda. Sedangkan yang terparah di kawasan Pelabuhan Tanjung Emas dan Semarang Utara.
Banyak pendapat menyebutkan penyebab rob, karena pasang surut air laut, konsolidasi tanah di bawah Kota Semarang yang belum tuntas, penurunan tanah di pelabuhan, dan umur tanah yang masih muda sehingga cenderung labil. Pengambilan air bawah tanah secara berlebihan pun dianggap sebagai pemicu terjadinya penurunan permukaan tanah.
Lalu reklamasi pantai dianggap pula sebagai pemicu terjadinya rob. Sebab ruang bagi luapan air yang sebelumnya berada di areal tambak, sekarang sudah tak ada lagi. Diganti dengan permukiman (elite), sehingga seakan-akan manusia yang menjemput rob (bencana).
Menurut Sarbidi (2002) rob yang terjadi di Semarang disebabkan beberapa faktor, antara lain:
·         perubahan penggunaan lahan di wilayah pantai : lahan tambak, rawa, sawah yang dulu secara alami dapat menampung pasang air laut telah berubah menjadi lahan pemukiman, kawasan industri, dan pemanfaatan lainnya.
·         Penurunan muka tanah yang disebabkan adanya pembangunan secara besar-besaran di wilayah pesisir Kota Semarang dan pengambilan air tanah secara berlebihan.
·         Kenaikan muka air laut akibat efek pemanasan global.
Dalam tulisan oleh BAPPEDA (2000) rob telah menggenangi wilayah Semarang utara 27,2 km2 dan Semarang Barat 12,4 km2. Berdasarkan data wilayah drainase kedua kecamatan tersebut diperkirakan luas genangan banjir rob sekitar 32,6 km2. Hal ini dapat digambarkan seperti di bawah ini.


Land Subsidence
Penurunan muka tanah (land subsidence) merupakan suatu proses gerakan penurunan muka tanah yang didasarkan atas suatu datum tertentu (kerangka referensi geodesi) dimana terdapat berbagai macam variabel penyebabnya (Marfai, 2006).
Turunnya permukaan tanah biasanya terjadi secara perlahan-lahan, atau juga bisa terjadi secara mendadak apabila ada fenomena geologis tertentu. Luasan daerah penurunan muka tanah dapat hanya beberapa meter persegi sampai ribuan kilometer persegi.
Menurut Muhrozi dkk (1997) dalam Anindya (2005) akibat dari penurunan permukaan air bawah tanah adalah menyebabkan pengurangan gaya angkat tanah sehingga terjadi peningkatan tegangan efektif tanah. Akibat meningkatnya tegangan efektif ini akan menyebabkan penyusutan butiran tanah dan penurunan tanah.
Menurut BAPPEDA Semarang (2000) dalam Anindya (2005)  land subsidence juga dipengaruhi oleh sifat fisik lapisan tanah penyusun. Penurunan muka tanah juga dapat disebabkan oleh bertambahnya beban ataupun berkurangnya tekanan hidraulik pada lapisan tanah.
Dengan adanya pembangunan disana-sini, pembangunan gedung-gedung tentu akan  menambah beban bagi tanah itu sendiri. Disamping itu dengan perkembangan suatu kota maka kebutuhan air tanah pun semakin meningkat, hal ini lah yang menyebabkan pengambilan air tanah, dan selanjutnya menjadikan berkurangnya tekanan hidraulik pada lapisan tanah.
Studi karakteristik penurunan muka tanah diperlukan dalam penentuan pola dan laju penurunan muka tanah. Hal ini diperlukan untuk penataan dan perencanaan wilayah dimana membutuhkan stabilitas wilayah dalam penempatan lokasi pembangunan dan pusat aktivitas pembangunan.
Untuk itu diperlukan suatu sistem pemantauan dan pengukuran penurunan muka tanah baik secara spasial maupun non-spasial secara berkala untuk mendapatkan pengetahuan suatu wilayah secara vertikal secara baik.

Penyebab Land Subsidence
Menurut Rapleye (1933) dalam Poland (1969) proses pengambilan air tanah yang intensif di cekungan air tanah telah mengakibatkan penurunan muka air tanah bahkan di negara-negara industri yang telah maju seperti yang dikemukakan Dawson (1963) dalam Poland (1969). Kejadian ini dapat mengakibatkan kerusakan susulan pada bangunan-bangunan di atasnya, selain itu karena elevasi daratan lebih rendah dari elevasi muka laut dapat berakibat pula terjadinya rob dan intrusi air laut.
Dengan perkembangan sebuah kota tentu kebutuhan atas air akan semakin meningkat, karena air merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan mahluk hidup lainnya. Bahkan ketersediaan air bersih pada sebuah kota berperan dalam perkembangan sebuah kota, karena dapat dipastikan manusia akan mencari tempat tinggal dimana kebutuhan air bersih akan tercukupi.
Peningkatan kebutuhan air bagi berbagai keperluan akibat pertambahan jumlah penduduk, kegiatan perekonomian seperti industri, pertanian serta adanya pembangunan di berbagai sektor tentu berdampak positif pada perkembangan suatu kota, akan tetapi meningkatnya kebutuhan air bersih memaksa air tanah untuk digunakan secara besar-besaran. Kemudian dengan adanya pengambilan air tanah secara besar-besaran dapat mengakibatkan penurunan muka air tanah, ataupun penuruan permukaan tanah (amblesan atau subsidence).
Menurut Sosrodarsono dan Takeda (1983) berkurangnya volume air tanah menyebabkan penurunan muka air tanah, dan dapat menyebabkan penurunan muka tanah. Hal ini dapat mengakibatkan penerobosan air asin ke dalam air tanah.
Dari data Dinas Geologi dan Tata Lingkungan (1999) dalam Anindya (2005) penurunan muka tanah di Kota Semarang disebabkan adanya pemampatan tanah dan disebabkan adanya pengambilan air bawah tanah yang berlebihan mencapai 35,639 x 105 m3/tahun.
Menurut Terzaghi dan Peck (1993) pemompaan air tanah pada lapisan tanah lunak berupa lanau atau gambut akan mengakibatkan land subsidence seperti yang telah terjadi di Mexico ataupun California. Sedangkan untuk lapisan tanah berupa pasir land subsidence dapat terjadi pada kondisi dimana mengalami getaran secara terus menerus seperti yang telah terjadi di Belanda. Getaran secara terus menerus ini dapat berupa adanya getaran yang disebabkan lalu lintas.
Menurut Alaudin (2008) laju dan besarnya penurunan muka tanah di berbagai tempat berbeda-beda, tergantung pada kondisi geologi, hidrogeologi, intensitas pemompaan air tanah dan sifat-sifat mekanik tanah.

Faktor-Faktor Penyebab Penurunan Muka Tanah (Land Subsidence)
Secara garis besar penurunan tanah bisa disebabkan oleh beberapa hal antara lain (Whittaker and Reddish, 1989) sebagai berikut:
1.      Penurunan muka tanah alami (natural subsidence) yang disebabkan oleh proses-proses geologi seperti aktifitas vulkanik dan tektonik, siklus geologi, adanya rongga di bawah permukaan tanah dan sebagainya.
2.      Penurunan muka tanah yang disebabkan oleh pengambilan bahan cair dari dalam tanah seperti air tanah atau minyak bumi.
3.  Penurunan muka tanah yang disebabkan oleh adanya beban-beban berat diatasnya seperti struktur bangunan sehingga lapisan-lapisan tanah dibawahnya mengalami kompaksi/konsolidasi. Penurunan muka tanah ini sering juga disebut dengan settlement.
4. Penurunan muka tanah akibat pengambilan bahan padat dari tanah (aktifitas penambangan).

Berdasarkan tinjauan berbagai macam pustaka, faktor-faktor penyebab terjadinya penurunan muka tanah dapat didefnisikan, sebagai berikut:
1. Pengambilan air tanah yang berlebihan (Burbey J.T., 2005).
2. Penurunan karena beban bangunan (Quaxiang, 2001).
3. Konsolidasi alamiah lapisan tanah (Wei,Q., 2006).
4. Gaya-gaya tektonik (Chang, C.P., 2005).
5. Ekstraksi gas dan minyak bumi (Odijk, D., 2005).
6. Penambangan bawah tanah (Rizos, C., 2007).
7. Ekstraksi lumpur (Deguchi, T., 2007).
8. Patahan kerak bumi (Rahtje et al., 2003)
9. Konstraksi panas bumi di lapisan litosfer (Hamdani et al., 1994)

Land Subsidence Kota Semarang
Dalam Marsudi (2001) disebutkan bahwa penurunan muka tanah di Semarang tercatat mulai dari tahun 1982, dengan kisaran antara 0,5 hingga 2,2 mm per tahun. Dua faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya penurunan muka tanah di Semarang adalah pemakaian air tanah dan penambahan beban akibat tanah urug. Amblesan tanah hanya terjadi di daerah dataran rendah sedangkan di daerah perbukitan tidak ditemukan tanda-tanda penurunan muka tanah oleh kedua faktor tersebut. Sedangkan disebutkan oleh Sarbidi (2002) penurunan muka tanah di wilayah pantai Semarang mencapai 2-20 cm/tahun.
Kota Semarang sendiri memiliki lapisan penyusun tanah berupa tanah aluvial, karena pada periode lampau Kota Semarang bagian utara ini merupakan laut yang mengalami sedimentasi oleh lahan gambut. Sehingga dengan adanya pengambilan air tanah secara berlebihan tidak mustahil jika terjadi penurunan tanah.
Penurunan muka tanah cenderung pada wilayah dengan karakteristik yang didominasi oleh jenis batuan alluvial, pada wilayah yang mengalami penurunan muka air tanah, dan pada wilayah dengan penggunaan lahan untuk keperluan industri-industri besar  (Syarifah, 2002).

 Dampak Kenaikan Muka Air Laut
Adapula kenaikan muka air laut yang menjadi isu akhir-akhir ini ternyata benar-benar berdampak pada kondisi hidrografi perairan. Menurut Akil (2002) kenaikan muka laut secara umum dapat berdampak pada bencana sebagai berikut :
1    1. Meningkatnya frekwensi dan intensitas banjir
Dengan adanya kenaikan muka laut dapat mengakibatkan banjir pada kondisi tempat yang memiliki elevasi lebih rendah daripada muka air laut. Peristiwa terjadinya genangan di darat bisa secara langsung apabila posisi daratan berbatasan langsung dengan laut. Tetapi yang terjadi adanya peningkatan elevasi muka air laut akan masuk ke celah-celah yaitu sungai, saluran-saluran  yang seharusnya mengalir ke arah laut terjadi sebaliknya. Sehingga melalui saluran-saluran ini daerah yang jauh dari laut pun dapat tergenang.
2. Perubahan arus laut dan kerusakan habitat mangrove
Secara tidak langsung dengan kenaikan air laut terjadi perubahan arus karena mengikuti gradien elevasi. Perubahan dinamika perairan seperti arus, gelombang, pasut, akan mengganggu ekosistem pesisir salah satunya adalah mangrove.
3. Meluasnya intrusi air laut
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya karena adanya kenaikan elevasi muka laut dimana seharusnya air tanah dapat mengalir ke laut, hal ini berlaku sebaliknya. Air dari laut akan menyusup ke arah daratan dan bercampur dengan air tawar. Menurut Foley dalam Adhitya (2003) peningkatan muka air laut sebesar 10 cm akan mengakibatkan penetrasi air laut sejauh 1 km ke daratan dalam muara sungai yang datar. Keadaan ini diperparah lagi dengan adanya penurunan muka air tanah yang disebabkan pengambilan air tanah secara berlebihan.
4.  Gangguan terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat
Gangguan tersebut antara lain : gangguan tehadap jaringan lintas kereta api di pantura, gangguan terhadap pemukiman penduduk, hilangnya lahan-lahan budidaya seperti sawah dan tambak.
5. Berkurangnya luas daratan dan hilangnya pulau-pulau kecil

Dampak Rob Bagi Kehidupan Masyarakat Kota Semarang
Dalam kurun waktu 25 tahun terakhir kawasan pesisir Semarang sering mengalami banjir rob yaitu banjir yang terjadi saat air laut mengalami pasang (Anindya, 2002). Banjir ini dapat menggenangi daerah yang lebih rendah dari muka air laut saat pasang tertinggi. Menurut Sarbidi (2002) kedalaman banjir rob bisa mencapai 20-60 cm dengan luas genangan mencapai 32,6 km2.
Banjir rob telah mengganggu berbagai kepentingan di Kota Semarang, karena pada kawasan Semarang Utara daerah yang terndam banjir dan rob banyak dimanfaatkan untuk pemukiman, pelabuhan, industri, pariwisata, penyedia jasa transportasi, dan lain sebagainya.
Sutarip (2002) mengatakan bahwa dampak terjadinya banjir rob bagi masyarakat Kota Semarang antara lain : mengganggu aktivitas perekonomian kota, merusak infrastruktur kota, menimbulkan penyakit kulit dan diare, dan rusaknya sebagian habitat di kawasan pesisir (mangrove, terumbu karang, perikanan tambak). Menurut Sarbidi (2002) banjir rob akan banyak berdampak buruk terhadap kawasan kota, rumah dan bangunan, sarana dan prasarana serta kesehatan lingkungan.
1.    Dampak bagi kawasan kota
·      Menyebabkan lahan tergenang secara rutin.
·      Penanganan genangan dengan drainase sistem polder membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
·      Untuk mengimabangi adanya penggenangan dilakukan pengurugan lahan yang memerlukan biaya yang relatif besar.
2.    Dampak bagi rumah dan bangunan
·      Lantai bangunan pada umumnya tergenang air apabila kondisi rumah belum ditinggikan.
·      Rumah / bangunan mengalami keretakan.
·      Lantai rumah terpaksa ditinggikan setiap 5 tahun sekali dengan rata-rata peninggian sebesar 10-50 cm.
3.    Dampak bagi sarana dan prasarana kota
·      Jalan selalu tergenang air.
·      Perlu melakukan pengurugan untuk meninggikan jalan di atas genangan banjir.
·      Mengganggu kelancaran lalu lintas.
·      Membutuhkan biaya untuk perawatan jalan lebih besar.
·      Air bercampur dengan air asin (terjadi intrusi air laut).
·      Kedalaman pipa untuk air sumur bertambah karena jalan harus diurug.
·      Septic tank harus dikuras 2 tahun sekali dan ditinggikan dindingnya agar tinja tidak melimpah ke atas.
4.    Dampak bagi kesehatan lingkungan
·      Penduduk banyak yang terkena penyakit gatal-gatal pada kulit.
·      Lingkungan becek dan kotor.
·      Mengganggu kualitas air sumur.
·      Estetika buruk.

Kejadian tsunami di Pulau Bali dan Nusa Tenggara dan upaya mitigasinya

KEJADIAN TSUNAMI DI PULAU BALI DAN NUSA TENGGARA DAN UPAYA MITIGASINYA
(Satriyo Panalaran)

Fenomena tsunami
Secara harfiah, tsunami berasal dari Bahasa Jepang. ‘Tsu’ berarti pelabuhan dan ‘nami’ adalah gelombang. Secara umum kita dapat definisikan  tsunami adalah gelombang laut dengan perioda panjang, yang mampu menggerakkan selurh kolom air, dan memiliki kecepatan perambatan sangat besar. Tsunami disebabkan karena adanya gangguan impulsif pada medium laut, contohnya : gempa bumi tektonik di laut, erupsi vulkanik di laut, longsoran di laut, atau jatuhnya meteor di laut.
Tidak seperti gelombang pada umunya di laut yang disebabkan oleh angin, dan berada di laut secara kontinyu dengan periode 20 detik, atau gelombang pasut yang setiap hari dijumpai dengan periode 12 sampai 24 jam. Tsunami terjadi apabila ada fenomena yang menyebabkan gangguan impulsif pada kolom laut dan memiliki periode antara 10 sampai 60 menit (Barber, 1969).
Selain dilihat dari periode gelombang, perbedaan gelombang tsunami dengan gelombang yang dibangkitkan oleh angin adalah terletak pada gerakolom air yang mampu digerakkan. Gelombang yang dibangkitkan oleh angin hanya menggerakkan partikel air laut di permukaan, namun pada gelombang tsunami menggerakkan seluruh kolom air dari permukaan sampai dasar perairan.
Di lokasi pusat tsunami tinggi gelombang diperkirakan 0,5 sampai 3 meter, dengan panjang gelombang mencapai puluhan kilometer. Selain itu ciri lain dari gelombang tsunami ialah kecepatan rambat di laut dalam berkisar antara 400 sampai 1000 km/jam dan penjalarannya dapat mencapai ribuan kilometer dari pusatnya.
Menurut teori gelombang perairan dangkal, ketika gelombang masuk ke perairan  dangkal akan terjadi transformasi gelombang. Keadaan ini disebabkan adanya efek shoalling yaitu tinggi gelombang bertambah tetapi kecepatan rambat gelombang menurun. Hal ini disebabkan adanya gesekan antara massa air dengan dasar perairan.
Untuk menghitung gelombang tsunami kita dapat melakukan dengan menggunakan Teori Gelombang Solitary yang merupakan gelombang dengan amplitudo berhingga dan non linier. Teori gelombang Solitary berlaku untuk kedalaman relatif perairan dangkal dimana seluruh perpindahan permukaan airnya berada di atas still water level.
Tipe gelombang dapat dihitung berdasarkan kedalaman relatif, yaitu dihitung berdasarkan perbandingan antara nilai kedalaman perairan dengan panjang gelombang (d/L).
Jika d/L < 0,05  termasuk gelombang perairan dangkal
Jika 0,05  < d/L < 0,5  termasuk gelombang perairan menengah
Jika d/L >  0,5  termasuk gelombang perairan dalam
Dalam hal ini tsunami memiliki panjang gelombang yang sangat besar bila dibandingkan kedalaman perairannya,  sehingga nilai d/L nya kurang dari 0,05 maka dalam perhitungannya tsunami dikelompokkan sebagai tipe gelombang perairan dangkal.
Dari efek shoalling dapat kita simpulkan bahwa kecepatan tsunami di laut dalam jauh lebih besar daripada kecepatan rambat tsunami ketika memasuki perairan dangkal. Pada perairan dalam kecepatan rambat tsunami dapat mencapai 400 sampai 1000 km/jam. Sebaliknya ketika tsunami berada di perairan dangkal kecepatan rambat akan berkurang mencapai 25-100 km/jam, tetapi tinggi gelombang akan semakin besar ketika mencapai pantai, hal ini disebabkan adanya penumpukan massa airakibat adanya penurunan kecepatan.

Proses Terjadinya Gempa dan Tsunami
Tsunami disebabkan karena adanya gangguan impulsif pada medium laut, contohnya : gempa bumi tektonik di laut, erupsi vulkanik di laut, longsoran di laut, atau jatuhnya meteor di laut. Tetapi pada umunya tsunami disebabkan oleh adanya gempa tektonik berdasarkan pergerakan lempeng bumi.
 Sedangkan baik gunung berapi maupun gempa bumi cenderung untuk terdapat  di sepanjang sistem mid-oceanic ridge dan di sepanjang batas-batas lempeng. Hal ini disebabkan di bawah batas antar lempeng-lempeng tersebut terdapat proses geologi di dalam bumi. Proses geologi ini berupa adanya aliran konveksi di lapisan litosfer. Akibatnya lempengan bumi di atasnya pun ikut bergerak saling mendekat ataupun saling menjauhi.
Gambar. Pergerakan lempeng bumi (Diposaptono, 2008)

Di dalam inti bumi memiliki suhu sangat tinggi, sedangkan pada lapisan mantel berisi cairan hasil dari lelehan batuan karena suhunya yang sangat tinggi. Dalam keadaan ini maka pada lapisan mantel akan terjadi proses konveksi dimana cairan yang lebih dekat dengan core akan lebih panas kemudian akan naik ke lapisan atas, sedangkan cairan pada lapisan lebih atas  turun ke bawah. Proses ini menyebabkan pergerakan sehingga pada titik konvergen akan menggerakkan lapisan diatas bergeser untuk menjauh satu sama lain, sedangkan pada titik divergen dapat terjadi tumbukan antar lempeng dan dapat menyebabkan adanya gempa ataupun terjadinya gunung-gunung baru.

Gambar. Proses konveksi dalam mantel bumi (Diposaptono, 2008)

Menurut teori pergerakan lempeng (tectonic plates) , di atas permukaan bumi dibagi menjadi enam lempengan, tetapi dalam perkembangannya jumlah lempeng ini terus bertambah karena lempeng ini terus bergerak .
Gambar. Lempeng bumi (Diposaptono, 2008)
            
Indonesia merupakan negara yang rawan dengan gempa bumi, karena jika kita perhatikan Indonesia berada di atas 3 pertemuan lempeng dunia yaitu Lempeng Eurasian, Lemoeng Indo-australian, Lempeng Pasifik. Dan dari data pusat gempa yang telah ada, ternyata terbukti bahwa pusat gempa umunya terjadi pada daerah-daerah yang berada di aas pertemuan lempeng-lempeng bumi.

Gambar. Sistem mid-oceanic ridge (Diposaptono, 2008)

Ketika Lempeng continental dan lempeng oceanik bertemu, maka terjadi subsidensi pada lempeng oceanik menghujam ke bawah lempeng continental. Hal ini disebakan lempeng oseanik memiliki karakter lebih lunak dibandingkan materi penyusun dari lempeng continental. Akibat dari pergeseran ini maka kan ada gesekan dan tegangan antar kedua lempeng yang dapat menimbulkan patahan dan gempa.

Gambar. Pertemuan antar lempeng continental dan lempeng oseanik (Diposaptono, 2008)

Tsunami disebabkan oleh pergeseran vertikal lempeng bumi dibawah dasar laut dalam dengan sumber atau pusat gempa dengan posisi dilepas pantai. Perubahan dasar laut secara mendadak akibat patahan subduksi saat gempa diikuti pula dengan perubahan massa air laut secara mendadak, diikuti pula dengan perubahan elevasi muka air laut yang dapat menimbulkan gelombang air laut yang sangat panjang (dapat mencapai 800 km) dengan periode gelombang yang sangat lama (dapat mencapai 60 menit).
Gambar. Mekanisme Tsunami (Diposaptono, 2008)

Gelombang tersebut menjalar dengan kecepatan sangat tinggi (dapat mencapai 800 km/jam) secara frontal dengan arah tegak lurus terhadap bidang pergeseran subduksi pada dasar laut. Tsunami yang terjadi dapat mengalami refraksi, defraksi, dan shoalling, sehigga dalam penjalarannya di pantai dapat berubah menjadi gelombang yang sangat tinggi. Tidak semua yang terjadi dilepas pantai mengakibatkan adanya tsunami karena akan tergantung besar kecilnya magnitude dan pusat gempa.
Terjadinya tsunami akibat gempa tektonik secara empiris jika gempa berkekuatan lebih dari 6,5 SR pusat gempa berada pada kedalaman kurang 60 km dari dasar laut, dan deformasi vertikal dasar laut cukup besar.

 Indonesia rawan gempa
Indonesia merupakan negara yang rawan terhadap gempa, karena Indonesia terletak pada daerah pertemuan antara tiga lempeng bumi. Ketiga lempeng itu adalah Eurasia, Samudera Pasifik, dan lempeng Indo-Australia. Dengan adanya pertemuan antara lempeng tersebut, maka diatas wilayah Indonesia terdapat banyak titik panas (hot spot). Seperti yang telah kita pelajari pada proses geologis, akibat Indonesia terletak pada daerah mid-oceanic ridge, Indonesia sangat beresiko dengan bencana gema bumi dan tsunami.

Gambar. Pusat kejadian gempa di bumi umumnya berada di mid oceanic ridge (Diposaptono, 2008)

Indonesia bahkan memiliki 240 gunung api dan diantaranya 70 masif aktif dan dapat meletus. Rangkaian busur api di Indonesia merupakan bagian dari The Pacific Ring of Fire yang bermula dari Alaska, Jepang, Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Flores, Sulawesi, dan berakhir di Filipina. Dengan demikian menurut Arnol (1986) Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kegempaan tinggi di dunia.
Menurut Diposaptono (2008) hampir setiap hari terjadi gempa di Indonesia, namun tidak semua gempa bersifat merusak tergantung besar magnitude gempa, kedalaman gempa, jarak dari pusat gempa, kondisi geologi, dan kondisi bangunan di daerah yang terkena gempa. Kejadian tsunami di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh gempa tektonik di sepanjang daerah subduksi dan daerah seismik aktif yang memanjang dari Papua bagian selatan, Biak, Maluku, bagian utara Sulawesi Utara, dan bagian selatan Nusa Tenggara, Bali dan Jawa, dan Bagian barat Pulau Sumatra. Selama periode tahun 1600 sampai 2007 terjadi kurang lebih 109 tsunami. Dari jumlah itu 90 persen disebabkan oleh gempa tektonik, 9 persen karena letusan gunung berapi, dan 1 persen disebabkan longsoran bawah laut.
 
Gambar. Wilayah rawan gempa beserta tahun kejadian gempa yang merusak 

Berdasarkan peta rawan gempa di Indonesia telah terjadi gempa bumi di wilayah jawa Timur dan Bali pada tahun 1958, 1967, 1972, 1976, 1979, 1994, 2004, dan 2007. Dan pada wilayah Nusa Tenggara Timur telah terjadi gempa pada tahun 1954, 1961, 1977, 1979, 1982, 1987, 1989, 1992, 2004, dan 2007. Di wilayah Nusa Tenggara Barat tsunami terjadi pada 1979.

Berdasarkan hubungan antara tsunami, aktivitas kegempaan, dan karakteristik  seimotektonik, Latief, et al. (2000) membagi ke dalam enam zona seismotektonik.

Gambar. Pembagian zona seimotektonik di Indonesia (Diposaptono, 2008)

Tabel. Aktivitas tsunami di Indonesia
Zona
Daerah
Jumlah
Persentase
Jumlah
tsunami
 kejadian
korban jiwa
A
Busur Sunda bagian barat
19
17,43
> 300.000
B
Busur Sunda bagian timur
11
10,09
3.260
C
Busur banda
35
32,11
5.570
D
Selat Makassar
9
8,26
1.020
E
Selat Maluku
32
29,36
7.570
F
Papua bagian utara
3
2,75
360

Zona A telah terjadi tsunami sebanyak 19 kali, 17 diantaranya disebabkan oleh gempa tektonik sedangkan 2 lainnya diakibatkan meletusnya gunung api bawah laut. Tsunami NAD 2004, Nias 2005, dan Bengkulu 2007 merupakan tsunami hasil subduksi lempeng tektonik Indo-australia dan lempeng eurasia. Sedangkan tsunami akibat meletusnya gunung Krakatau terjadi pada tahun 1883 dan 1928. Berdsarkan data 17 tsunami diakibatkan gempa bumi yang terjadi pada tahun 1970-2007, ini berarti periode ulang tsunami pada zona A adalah sekitar 10-15 tahun. Kontribusi kejadian tsunami di zona A adalah 17,73 % terhadap seluruh kejadian tsunami di Indonesia.
Zona B meliputi Busur Sunda bagian timur terbentang antara Selat Sunda ke timur sampai Sumba. Wilayah itu meliputi Pulau Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, dan Sumba. Tsunami yang terjadi di zona ini 10 kali disebabkan oleh gempa tektonik, sedangkan satu kali disebabkan meletusnya gunung api bawah laut. Kontribusi kejadian tsunami di zona B adalah 10,09 % terhadap seluruh kejadian tsunami di Indonesia.
Zona C meliputi Laut banda, Flores, Timor, Kepulauan Banda, Kepulauan Tanimbar, Seram, dan Pulau Buru. Pada zona C terjadi tsunami sebanyak 30 kali yang disebabkan oleh gempa tektonik , 2 tsunami oleh meletusnya gunung bawah laut, dan 1 tsunami diakibatkan oleh longsoran. Kontribusi kejadian tsunami di zona C adalah 32,11 % terhadap seluruh kejadian tsunami di Indonesia.
Zona D meliputi Selat Makassar dan telah terjadi terjadi sebanyak 9 kali tsunami dalam kurun waktu 1600-2007. Kontribusi kejadian tsunami di zona D adalah 8,26 % terhadap seluruh kejadian tsunami di Indonesia.
Zona E terletak di laut Maluku dan telah terjadi terjadi sebanyak 32 kali tsunami dalam kurun waktu 1600-2007. Kontribusi kejadian tsunami di zona E adalah 29,36 % terhadap seluruh kejadian tsunami di Indonesia.
Zona F berada di sebelah utara Papua. Pada zona ini telah terjadi tsunami sebanyak 3 kali dalam kurun waktu 1600-2007. Kontribusi kejadian tsunami di zona D adalah 2,75 % terhadap seluruh kejadian tsunami di Indonesia.
Melihat dari data-data diatas rata-rata periode ulang tsunami pada tiap zona yaitu antara 10-15 tahun. Rekor tinggi run-up tsunami paling besar di Indonesia yaitu pada tahun 1883 saat meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda. Pada saat tersebut tinggi run-up tsunami mencapai 41 meter. Dan dilihat dari jumlah korbannya Tsunami Aceh pada tahun 2004 memakan korban paling banyak di Indonesia bahkan di dunia.

Tsunami di Bali dan Nusa Tenggara



Gambar. Peta potensi tsunami Pulau Bali (BAPPEDA Prov. Bali)

Bali merupakan pulau yang sering mengalami gempa, berikut adalah tabel kejadian gempa bumi di Bali dari tahun 1862 sampai 2004. 
Tabel. Kejadian tsunami di Wilayah Bali dan Nusa Tenggara pada tahun 1961 - 2007
No
Tahun
Pusat Gempa
Run-up
Koban Jiwa
Daerah bencana
maksimum
1
1961
8,2 LS - 122,0 BT
?
6
NTT, Flores
2
1977
11,1 LS - 118,5 BT
?
316
NTB, P.Sumbawa
3
1977
8,0 LS - 125,3 BT
?
25
NTT, Flores, P. Atauro
4
1979
8,4 LS - 115,9 BT
?
200
NTB, P.Sumbawa, Bali, dan Lombok
5
1982
8,4 LS - 123,0 BT
?
400
NTT, Larantuka
6
1987
8,4 LS - 124,3 BT
?
108
NTT, Flores Timur, P.PAntar
7
1989
8,1 LS - 125,1 BT
?
7
NTT, P.Alor
8
1992
8,5 LS - 121,9 BT
11,2-26,2
2.126
NTT, Flores, P. Babi

Pantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa, Bali, NTB, dan NTT merupakan daerah yang rawan gempa disertai oleh tsunami. Karena pada wilayah itu merupakan tempat pertemuan antara Lempeng Eurasia dan Lempenh Indo-australia. Lempeng Samudera Indo-australia ters bergerak menujam lempeng benua Eurasia. Bagian dari ujung lempeng benua Eurasia tertarik turun secara berangsur-angsur dan terus-menerus sehingga terjadi akumulasi tegangan.
Akibat akumulasi tegangan yang mencapai batasnya maka terjadi gempa dan ujung lempeng benua Eurasia melenting ke atas. Pergerakan vertikal ujung lempeng benua Eurasia ini menimbulkan gangguan impulsif medium laut yang dapat menyebabkan terjadinya tsunami.
Yugo Kumoro, Kepala Bidang Geologi Teknik dan Konservasi Kebumian Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, mengatakan sejak 1629 sampai 2006 sudah tercatat 54 gempa berskala besar di kawasan Bali dan Nusa Tenggara. Dari 54 gempa tersebut sebanyak 20 kali disertai dengan ombak tsunami.

Contoh kejadian Gempa 1977
Pada 19 Agustus 1977 sebuah gempa bumi besar terjadi di selatan Kepulauan Sunda Kecil (wilayah Nusa Tenggara), di barat Pulau Sumba. Menurut catatan ini merupakan gempa terbesar sepanjang Palung jawa dalam beberapa dekade. Gempa ini meliputi Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores, Timor, Alor, dan pulau-pulau lain yang berdekatan. Dari gempa ini terbentuk tsunami di sepanjang Pantai Sumba, Sumbawa, Lombok, dan Bali.
Gempa ini terjadi pada pukul 06:08:52 waktu setempat. Pusat gempa pada 11,09 S dan 118,46 E dengan besar 7,7 SR. Bahkan menurut catatan getaran dari gempa mencapai Perth, Australia. Di Sumbawa dan Bima gempa ini mengakibatkan kerusakan parah pada gedung-gedung dan sarana kota. Gempa dan tsunami ini menyebabkan 107 korban jiwa meninggal dunia di wilayah Nusa Tenggara, sebanyak 440 rumah hancur, 467 perahu hilang, 5 bangunan sekolah hancur.
Survei terhadap wilayah pesisir di Pulau Sumba, Sumbawa, Lombok, dan Bali dilakukan oleh Intergovermental Oceanographi Commission (IOC) dan oleh NOAA dibantu oleh Lembaga Meteorologi dan Geofisika Departemen Perhubungan yang dipimpin oleh Dr. Susanto.
Gempa ini menghasilkan tsunami dengan ketinggian gelombang mencapai 15 meter di pesisir Indonesia yang berdekatan dengan pusat gempa, bahkan di Autralia pun terjadi tsunami. Di Kuta, Bali tercatat 1 orang tewas, 5 rumah roboh, 26 perahu rusak atau hilang. Di Lombok tercatat 20 orang tewas, 115 rumah rusak, 132 perahu hilang atau rusak. Di Sumbawa tercatat 81 orang tewas, 53 orang hilang, 63 rumah dan 1 gedung sekolah hancur. Menurut studi yang ada di Pilau Sumbawa gelombang mencapai 15 meter di atas air pasang dan menembus sekitar 500 meter ke pedalaman.

Contoh kejadian Gempa Flores 1992
Gempa tektonik yang terjadi di Flores pada 1992 dan berkekuatan 7,5 SM telah menyebabkan tsunami.  Dimana gempa tersebut menyebabkan gelombang dengan ketinggian 26 meter di daerah pantai. Gempa tersebut berhasil meruntuhkan seluruh bangunan di kawasan pesisir dan tercatat 1.713 orang meninggal dunia.
Gempa terjadi pada pada 12 Desember 1992 pukul 13:30 WIT dengan kekuatan gempa 7,8 skala Ritcher. Gempa tersebut berpusat di 8,5° LS - 121,9° BT yaitu di lepas pantai utara Flores. Dasar laut tiba-tiba naik 1,3 meter, mengangkat seluruh air di kolom lautan dan menimbulkan tsunami besar. Tsunami di lepas pantai utara Flores menghantam ujung bagian timur Pulau Flores.
Desa Wuring yang dibangun di atas daratan pasir setinggi 1,6 meter dalam kondisi berbahaya. Gelombang tsunami menghantam ujung timur Pulau Flores  dengan ketinggian 3,3 meter di Desa Wuring. Tsunami di wilayah tersebut menghasilkan 80 persen rumah bambu di desa tersebut hancur dan 87 orang tewas. Perahu-perahu nelayan yang ditambatkan di pantai terlempar menghantam rumah-rumah.  Beberapa bangunan yang masih kokoh termasuk diantaranya masjid-masjid yang dibangun dari batu bata.
Di ujung timur dari pantai utara Pulau Flores, tsunami masuk ke daratan dengan ketinggian lebih dari 10 meter. Sementara itu di Desa Riang-Roko ketinggian tsunami mencapai 26 meter dan menggenangi daratan sejauh 660 meter. Pelabuhan larantuka pun terkena gelombang tsunami bahkan hanya 2 menit setelah terjadinya gempa.
Di Pulau Babi, pulau dengan diameter kurang dari 2,4 km berjarak 4,8 km dari pusat gempa. Sekilas daerah tersebut terlindung dari gelombang samudera dan gelombang oleh angin lokal karena dilindungi oleh terumbu karang yang luas. Tetapi nyatanya Pulau Babi tetap terkena dampak dari Tsunami Flores 1992.
Hanya tiga menit setelah terjadinya gempa, tsunami mendekati Pulau babi. Gelombang terbelah menjadi dua di sekitar perairan tersebut.  Satu gelombang mengitari bagian timur Pulau babi sedangkan satu gelombang yang lain mengitari bagian barat. Kedua gelombang tersebut mengitari Pulau Babi dan bertemu di bagian selatan yang terlindung.
Tumbukan antara kedua gelombang tersebut menyebabkan ketinggian gelombang semakin naik. Beberapa ilmuwan menyimpulkan tsunami semakin besar karena sebagian dari energi gelombang telah menghantam pantai Pulau Flores dan dipantulkan sebagai gelombang balik. Dengan tenaga perusak yang jauh lebih besar dari sebelumnya, maka telah menghancurkan kedua desa di Pulau tersebut.
Dari bencana yang telah terjadi di Flores pada tahun 1992 ini ada beberapa  hal yang harus diperhatikan kedepannya, antara lain : tidak adanya rencana evakuasi apabila terjadi bencana, hampir semua masyarakat tidak memiliki informasi tentang tsunami. Respon masyarakat ketika mereka melihat gelombang tinggi masuk ke perairan adalah dengan berlari. Padahal tanpa adanya perencanaan dalam mitigasi, tidak semua orang mampu berlari dengan cepat termasuk anak-anak, orang lanjut usia, dan orang-orang lumpuh.
Beberapa gambar setelah terjadinya Tsunami Flores 1992 :
 Pelabuhan Sadang Bui

Kawasan Pertokoan

Tanda-tanda tsunami
Untuk menghindari korban dalam jumlah yang besar, sebaiknya masyarakat diajarkan mengenai tanda-tanda yang langsung dapat dilihat di alam. Tsunami dapat ditandai sebagai berikut : biasanya didahului oleh terjadinya gempa, air laut surut secara mendadak, ketika gelombang tsunami telah mendekati perairan maka akan terdengar suara gemuruh. Selain itu terkadang disertai dengan adanya bau garam yang sangat kuat secara tiba-tiba.
Ketika air surut secara mendadak, ikan-ikan akan terlihat menggelepar di pantai yang airnya telah surut secara tiba-tiba. Biasanya masyarkat akan memanfaatkan kesempatan ini  untuk mengumpulkan ikan sebanyak-banyaknya , tetapi pada terjadinya tsunami ketika air laut telah surut secara mendadak kemudian  datang gelombangg dengan tinggi yang besar dan kecepatan yang lebih cepat dari gelombang pada umumnya.Hal ini dapat menyebabkan banyaknya korban jiwa jika tidak ada sistem peringatan dini yang tepat.
Banyak nya korban jiwa disebabkan ketidaktahuan mereka tentang tanda-tanda alam terjadinya tsunami. Pada beberapa kejadian tsunami ketika air laut surut secara mendadak, beberapa dari mereka terlihat mencari ikan atau kepiting-kepiting kecil yang terdampar di dasar.

Dampak terjadinya tsunami
Ketika tsunami memasuki daratan, tinggi gelombang tsunami ini dapat mencapai 10 meter.Karena energi potensial dari tinggi gelombang ini tentu dapat menghancurkan kehidupan pantai ataupun bangunan-bangunan termasuk rumah-rumah di dekat pantai.
Meskipun tsunami yang memasuki daratan tidak memiliki tinggi gelombang yang besar, tetapi limpahan air dalam volume besar ke arah daratan ini membawa debit air yang dapat memindahkan suatu benda dari satu tempat ke tempat lain, ataupun bersifat merusak. Selain itu kembalinya air ke laut (run-down) dapat menyeret segala sesuatu kembali ke laut.
Akibat kekuatan tsunami yang begitu besar dapat merobohkan bangunan-bangunan, merusak jalan, merusak jaringan listrik, dan telekomunikasi. Bahkan dapat memindahkan benda-benda berat ke lokasi lain sehingga menyebabkan kerusakan pada benda-benda lain yang terbenturnya.
Selain kerusakan sarana kota, pada saat terjadi tsunami menyebabkan gangguan pada sarana air bersih karena air tawar telah tercampur air laut, dan keruh karena membawa sedimen-sedimen tersuspensi. Akibat dari kerusakan air di darat maka berimbas juga pada lahan pertanian, lahan perikanan tambak.
Tumbuhan pepohonan pun banyak yang mati ataupun tumbang mendapat gempuran tsunami. Namun pada daerah pesisir yang banyak ditumbuhi mangrove dengan lebat dan rapat, maka sedikit banyak dapat mengurangi efek dari tsunami karena struktur komunitas mangrove ini dapat meredam energi tsunami.

Penyelamatan diri ketika terjadi tsunami
Berikut adalah hal-hal yang perlu dilakukan apabila datang tanda-tanda tsunami :
·         Jika berada di sekitar pantai, terasa ada guncangan gempabumi, air laut dekat pantai surut secara tiba-tiba sehingga dasar laut terlihat, segeralah lari menuju ke tempat yang tinggi (perbukitan atau bangunan tinggi) sambil memberitahukan teman-teman yang lain.
·         Jika sedang berada di dalam perahu atau kapal di tengah laut serta mendengar berita daripantai telah terjadi tsunami, jangan mendekat ke pantai. Arahkan perahu ke laut.
·         Jika gelombang pertama telah datang dan surut kembali, jangan segera turun ke daerah yang rendah. Biasanya gelombang berikutnya akan menerjang.
·         Jika gelombang telah benar-benar mereda, lakukan pertolongan pertama pada korban.

Identifikasi daerah rawan bencana

Analisis bahaya tsunami bertujuan untuk mengidentifikasi daerah yang akan terkena bahaya tsunami. Setidaknya ada dua metode untuk mengidentifikasi yaitu simulasi hubungan antara pembangkit tsunami dengan tinggi gelombang tsunami, dan memetakan hubungan sumber tsunami dengan terjadinya gelombang tsunami berdasar sejarah terjadinya tsunami, kemudian diidentifikasi dan dipetakan lokasi yang terkena dampak tsunami.
Analisis kerentanan bahaya tsunami bertujuan untuk mengidentifikasi dampak terjadinya tsunami yang berupa jumlah korban jiwa, kerugian ekonomi, baik dalam jangka pendek dan jangka panjang akibat kerusakan yang ditimbulkan. Analisis kerentanan ini didasarkan pada aspek kepadatan penduduk, tingkat ketergantungan ekonomi masyarakat, keterbatasan akses transportasi, informasi, tingkat pendidikan dan kesadaran masyarakat. Hal-hal inilah yang mempengaruhi kerentanan terhadap bahaya tsunami. Sedangkan analisis ketahanan ditujukan untuk mengidentifikasi kemampuan pemerintah dan masyarakat untuk merespon terjadinya bencana tsunami sehingga mampu mengurangi dampaknya. Analisis ini dapat diidentifikasi dari beberapa aspek, di antaranya jumlah tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk, kemampuan mobilitas masyarakat dalam evakuasi dan penyelamatan dan ketersediaan peralatan yang dapat dipergunakan untuk evakuasi.
 
 
Mitigasi Bencana
Dalam penanganan sebuah bencana tanpa adanya persiapan, penanganan ini lebih ditekankan pada saat telah terjadi bencana. Hal ini berakibat pada kerugian yang sangat besar karena terjadi kehancuran besar di sana-sini. Untuk itu dalam upaya meminimalkan dampak yang dapat terjadi perlu adanya persiapan penanganan sebelum terjadinya bencana melalui pendekatan resiko. Yaitu dengan upaya-upaya pencegahan, mitigasi, dan kesiasiagaan.
Mitigasi bencana merupakan kegiatan yang amat penting dalam penanggulangan bencana, karena kegiatan ini merupakan kegiatan sebelum terjadinya bencana yang dimaksudkan untuk mengantisipasi agar dampak yang ditimbulkan dapat dikurangi. Masyarakat yang berada di daerah rawan bencana maupun yang berada di luar sangat besar perannya, sehingga perlu ditingkatkan kesadarannya, kepeduliannya dan kecintaannya terhadap alam dan lingkungan hidup serta kedisiplinannya terhadap peraturan dan norma-norma yang ada.
Pada sebuah siklus mitigasi ditekankan pada  pengelolaan bencana dimulai dari pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, pemulihan (rehabilitasi dan rekontruksi), serta pembangunan. Pencegahan merupakan tahap awal, sebab pencegahan merupakan upaya untuk menghambat atau menghilangkan beragam bahaya yang bisa terjadi.  Dalam bencana gempa dan tsunami pencegahan sangat sulit untuk dilakukan karena kita tidak tahu kapan itu bisa terjadi, dan seberapa besar gempa atau tsunami tersebut. Sehingga yang bisa kita lakukan adalah meminimalkan dampak bagi masyarakat apabila terjadi gempa dan tsunami.
Salah satu upaya dalam mitigasi adalah memberi peringatan dini. Langkah ini bertujuan agar masyarakat bersiap diri menghadap bencana yang bakal terjadi. Dari kesiapsiagaan ini keselamatan manusia ditentukan. Siap siaga merupakan segala upaya untuk menghadapi atau mengantisipasi bencana yang mungkin terjadi. Pada tahap ini masyarakat yang berada di daerah rawan bencana telah memiliki pengetahuan yang cukup tentang bagaimana mereka harus menyelamatkan diri mereka, melalui sosialisasi-sosialisasi sebelumnya.
Begitu bencana terjadi, langkah yang dilakukan adalah menangani korban dengan dengan kegiatan tanggap darurat secara tepat dan cepat. Korban perlu segera mendapatkan bantuan berupa makanan, minuman, obat-obatan, dan tempat penampungan. Pemerintah pun harus berupaya agar fasilitas-fasilitas air bersih dan listrik dapat segera terpenuhi kembali.
Jika kondisi telah relatif tenang tahap berikutnya adalah pemulihan yang meliputi rehabilitasi dan rekontruksi. Proses rehabilitasi bertujuan untuk membantu masyarakat terkena bencana agar pulih kembali, dan rekontruksi untuk membangun kembali sarana-prasarana di lokasi bencana sehingga lebih baik dari kondisi sebelumnya.
Selain hal tersebut diatas perlu dipikirkan pula penerapan pengelolaan pesisir terpadu (integrated coastal management) untuk mitigasi bencana. Pendekatan ini ditujukan untuk mengalokasikan atau memanfaatkan sumber daya dan daya dukung lingkungan suatu wilayah pesisir yang mencakup suatu kesatuan dalam perencanaan, penggunaan lahan atau peruntukan, pemeliharaan, kontrol, evaluasi, rehabilitasi, pembangunan dan konservasi lingkungan pesisir.

 
Upaya Mitigasi Bencana Gempa Bumi dan Tsunami
Dalam upaya mitigasi bencana tsunami dapat dilakukan dengan membangun secara fisik (struktural) maupun non fisik (non struktural). Upaya fisik dalam menangani bencana tsunami adalah upaya teknis untuk bertujuan merdam energi gelombang yang dapat menghancurkan kehidupan di darat. Secara fisik untuk meminimalkan bencana dapat dilakukan dengan sarana buatan yaitu dengan pembangunan breakwater, sea wall, rumah tahan gempa dan tsunami ataupun secara alami dengan melestarikan vegetasi pantai yaitu mangrove, selain itu perlu adanya penataan ruang yang tepat untuk dapat meminimalkan korban tsunami di kawasan pesisir.
Upaya mitigasi bencana tsunami nonstruktural dalam menangani bencana tsunami adalah upaya non teknis yang menyangkut penyesuaian dan pengaturan tentang kegiatan manusia agar sesuai dengan upaya mitigasi struktural. Untuk kegiatan nonfisik dapat dilakukan dengan antisipasi berupa pembuatan Peta Rawan Bencana, kebijakan tentang standarisasi bangunan, kebijakan tentang eksplorasi dan kegiatan perekonomian masyarakat pantai, sistim peringatan dini, tata ruang yang tepat, penyadaran masyarakat akan bencana, penyuluhan dalam kesiapsiagaan menghadapi bencana, dan masih banyak lagi.
-       Membangun bangunan vital/strategis atau bangunan lainnya yang dapat menampung  banyak manusia di wilayah rawan gempabumi dan tsunami menggunakan konstruksi yang tahan terhadap gempa.
·         Tidak membangun permukiman dan aktifitas penduduk diatas atau dibawah tebing.
·         Tidak mendirikan bangunan diatas tanah timbunan yang tidak memenuhi tingkat kepadatan yang sesuai dengan daya dukung tanah terhadap konstruksi bangunan diatasnya.
·         Pemetaan mikrozonasi di wilayah rawan gempa bumi.
·         Perlu adanya RUTR dan RTRW yang dituangkan dalam peraturan daerah yang berwawasan dan mempertimbangkan aspek kebencanaan sehingga prinsip bangunan berkelanjutan dapat tercapai.
·         Membangun kewaspadaan masyarakat dan pemerintah daerah melalui pelatihan antisipasi jika sewaktu-waktu terjadi gempa bumi.
·         Menyiapkan alur dan tempat evakuasi bencana.
·         Menyelenggarakan pendidikan dini melalui jalur pendidikan formal dan non-formal tentang gempa bumi, bahayanya, dan bagaimana cara penyelamatan diri ketika terjadi bencana.
·         Membangun alur dan tempat pengungsian serta bukit-bukit untuk menghindar dari gelombang tsunami.
·         Perencanaan letak bangunan di daerah pantai harus memperhatikan tipe kerusakan yang dapat ditimbulkan yaitu kerusakan struktural bangunan akibat gaya hidrodinamik gelombang.

Beberapa pedoman untuk membangun sebuah bangunan di daerah pantai, adalah: sisi panjang dari struktur bangunan sedapat mungkin diarahkan sejajar dengan arah penjalaran gelombang, sisi pendek dari struktur bangunan sejajar dengan garis pantai.
Shear wall atau lateral beacing ditempatkan searah dengan arah penjalaran gelombang tsunami. lantai terbawah dari struktur bangunan bertingkat dibuat terbuka total, dinding sisi bawah dibuat dari bahan yang mudah pecah, supaya gelombang tsunami dapat lewat dengan leluasa. Pondasi bangunan bersifat menerus, akrena memiliki ketahanan yang jauh lebih baik untuk menahan gerusan akibat arus gelombang tsunami. Disamping itu, bangunan harus direncanakan tahan gempa yang kemungkinan akan menerima beban gempa sebelum di datangi tsunami. Juga direncanakan adanya perhitungan ketahanan terhadap benturan benda keras (kapal, bangunan lepas pantai, ramb-rambu laut, dan sebagainya yang terbawa arus kecepatan sangat tinggi dari gelombang tsunami.
Karakteristik gaya hidrodinamik yang ditimbulkan oleh tsunami dapat memperkirakan analisis secara rinci terhadap kerusakan struktural bangunan di daerah pantai. Informasi tersebut sangat diperlukan untuk mengembangkan pedoman perancangan sistem struktur tahan tsunami.

Kendala dalam mitigasi bencana
Pelaksanaan mitigasi bencana tsunami sendiri tidak lepas dari sejumlah kendala. Kendala tersebut disebabkan, pertama, kejadian tsunami di Indonesia pada umumnya adalah tsunami lokal yang terjadi sekitar 10-20 menit setelah terjadinya gempa bumi dirasakan masyarakat. Pada saat ini, sistem monitoring yang dimiliki Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) memerlukan waktu 30 menit sampai 3 jam untuk menyelesaikan proses di atas.
Kedua, belum terintegrasinya sistem pengamatan dengan kondisi riil di lapangan disebabkan minimnya stasiun pengamatan yang ada. Ketiga, belum adanya mekanisme komunikasi antar stasiun pengamatan dan instansi terkait. Dan keempat, upaya penanganan kendala mitigasi akan efektif jika mekanisme komunikasi dan desiminasi hasil pemantauan terjadinya aktivitas gempa bumi, longsoran dasar laut, serta letusan gunung api bawah laut yang dapat memicu terjadinya tsunami dapat secara langsung diterima masyarakat.
Mengingat besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh bencana tsunami di Aceh dan disekitarnya, maka perlu segera dilakukan berbagai upaya secara menyeluruh tentang tsunami di Indonesia. Untuk mengantisipasi dampak bencana terutama tsunami dan berbagai permasalahan pesisir tersebut, perlu diupayakan suatu strategi dan kebijakan yang bersifat reaktif dan proaktif.
Secara proaktif pemerintah juga menyusun kebijakan dan program jangka panjang yang bertujuan mengatasi permasalahn pesisir pulau-pulau kecil. Bentuk kebijakan ini antara lain pembuatan pedoman umum dan menyusun peraturan perundang-undangan yang didalamnya akan mengatur juga tentang bencana alam di wilayah pesisir.
Untuk itu dalam upaya meningkatkan upaya mitigasi pasca bencana tsunami tersebut, beberapa hal yang penting, untuk manjadi bahan pemikiran bersama untuk segera di tindaklanjuti, di antaranya UU Pengelolaan Wilayah Pesisir, penataan ruang di wilayah pesisir dan laut, building code bangunan, sistem perlindungan, serta early warning system, dan SAR. Dengan adanya sistem perlindungan yang memadai dan struktur yang kuat, building code bangunan yang baik dan sesuai dengan kaidah-kaidah lingkungan setempat, dampak kerusakan akibat tsunami akan dapat diminimalisasikan. Jika sistem peringatan dini (early warning system) yang berupa informasi tsunami dan gempa bumi pada sistem pengamatan terdiri dari beberapa proses sebelum statusnya menjadi peringatan, yaitu deteksi, perhitungan hypocenter, perkiraan tsunami, dan perkiraan resiko berjalan dengan baik, dampak korban jiwa dapat diminimalkan sekecil mungkin.