DAMPAK PEMANASAN GLOBAL PADA PEMUTIHAN KARANG
Satriyo Panalaran
ABSTRAK
Secara geografis Indonesia berada di daerah beriklim tropis. Dengan iklim tropis tersebut maka kondisi perairan Indonesia relative hangat. Kondisi itulah yang menyebabkan karang dapat tumbuh dengan baik di perairan Indonesia, karena karang scara umum hanya hidup di perairan yang memiliki suhu rata-rata minimum 10ºC, dan akan dapat tumbuh maksimal pada kisaran suhu 25-29ºC. Selain itu karakteristik topografi perairan pada pulau-pulau di Indonesia yang termasuk dangkal, membuat karang tumbuh dengan baik karena karang dapat cukup cahaya untuk fotosintesis. Dikarenakan faktor-faktor tersebut terumbu karang di Indonesia adalah yang terkaya di dunia, dan termasuk dalam wilayah segitiga karang dunia yang merupakan pusat keaneka ragaman hayati dunia. Namun dari beberapa data yang diperoleh, kondisi terumbu karang di Indonesia telah banyak mengalami kerusakan, yang antara lain disebabkan oleh ulah manusia dan oleh isu pemanasan global yang akhir-akhir ini sering dibicarakan. Contohnya pada saat terjadinya El Nino pada tahun 1998 dimana pemutihan karang terlihat pada kepulauan Riau, Kepulauan Seribu, Kepulauan Karimun Jawa, Pulau Bali, Pulau Lombok, dan Selat Sunda. Dan kon kondisi hewan karang yang mengalami pemutihan terparah ialah spesies dari karang bercabang, yaiut Acropora sp. Tercatat juga pada kondisi waktu itu suhu air 2ºC atau 3ºC lebih tinggi dari rataa-rata normalnya. Atau lebih tinggi dibandingkan peristiwa yang sama pada periode El Nino 1982-1983, dan kenaikan ini dimungkikan karena adanya pemanasan global. Padahal ekosistem terumbu karang sangat sensitive terhadap perubahan lingkungan hidupnya terutama suhu, salinitas, sedimentasi, eutrofikasi. Dan karena adanya El Nino pada tahun 1998 itu menyebabkan pemutihan karang yang diikuti dengan kematian massal mencapai 90-95%. Untuk itu kajian mengenai dampak perubahan iklim pada terumbu karang – terumbu karang di Indonesia perlu ditingkatkan agar tidak menimbulkan dampak negatif yang secara langsung ataupun tidak langsung berimbas pada kondisi perairan, produktivitas perairan, dan akhirnya dapat berimbas pula pada kehidupan sosial-ekonomi masyarakat.
I. Pendahuluan
Terumbu karang (coral reef) di Indonesia merupakan yang terkaya di dunia. Diperkirakan dari total luas terumbu karang di dunia yang mencapai 284.300 km2, 18 % (85.200 km2) diantaranya berada di wilayah Indonesia. Hal ini juga berkaitan dengan Indonesia yang sebagai negara maritim terbesar di dunia yang memiliki perairan seluas 93 ribu km2. Terumbu karang Indonesia juga memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia dengan lebih dari 18% terumbu karang dunia, serta lebih dari 2.500 jenis ikan, 590 jenis karang batu, 2.500 jenis moluska, dan 1.500 jenis udang-udangan. Sejauh ini telah tercatat lebih dari 750 jenis karang yang termasuk kedalam 75 marga terdapat di Indonesia.
Terumbu karang Indonesia juga termasuk dalam wilayah segitiga karang dunia (coral triangel) yang merupakan pusat keanekaragaman hayati dunia. Segitiga karang meliputi Indonesia, Philipina, Malaysia, Timor Leste, Papua New Guinea dan Kepulauan Salomon. Jika ditarik garis batas yang melingkupi wilayah terumbu karang di ke-6 negara tersebut maka akan menyerupai segitiga. Itu sebabnya wilayah tersebut disebut sebagai segitiga karang dunia (coral triangle). Total luas terumbu karang di coral triangle sekitar 75.000 Km2.
Kawasan di Indonesia yang memiliki terumbu karang yang cukup baik diantaranya adalah Kepulauan Raja Ampat di Papua Barat. Berdasarkan sebuah kajian ekologi yang dipimpin oleh The Nature Conservancy (TNC) dengan melibatkan para ahli terumbu karang dan ikan dunia pada tahun 2002, ditemukan sekitar 537 jenis karang dan 1074 jenis ikan di kepulauan Raja Ampat. Ini berarti Kepulauan Raja Ampat merupakan kepulauan dengan jumlah jenis terumbu karang tertinggi di dunia. Jumlah jenis terumbu karang di Raja Ampat tersebut merupakan 75% dari seluruh jenis terumbu karang dunia yang pernah ditemukan. Walaupun kepulauan Carribean di Amerika tengah dan Great Barrier Reef Marine Park di Australia sangat terkenal, kedua kawasan tersebut hanya memiliki sekitar 400 jenis karang.
Beberapa kepulauan di Indonesia yang lain juga memiliki jenis karang cukup tinggi. Seperti di Kepulauan Derawan, Kaltim (444 jenis karang), Pulau Banda (330 jenis). Juga di Nusa Penida (Bali) , Komodo (NTT), Bunaken (Sulut), Kepulauan Wakatobi (Sultra), dan Teluk Cendrawasih (Papua).
Terumbu karang sendiri mempunyai fungsi dan manfaat serta arti yang amat penting bagi kehidupan manusia baik segi ekonomi maupun sebagai penunjang kegiatan pariwisata. Manfaat tersebut antara lain:
- Tempat tinggal, berkembang biak dan mencari makan ribuan jenis ikan, hewan dan tumbuhan yang menjadi tumpuan kita.
- Sumberdaya laut yang mempunyai nilai potensi ekonomi yang sangat tinggi.
- Sebagai laboratorium alam untuk penunjang pendidikan dan penelitian.
- Terumbu karang merupakan habitat bagi sejumlah spesies yang terancam punah seperti kima raksasa dan penyu laut.
- Dari segi fisik terumbu karang berfungsi sebagai pelindung pantai dari erosi dan abrasi, struktur karang yang keras dapat menahan gelombang dan arus sehingga mengurangi abrasi pantai dan mencegah rusaknya ekosistim pantai lain seperti padang lamun dan magrove.
- Terumbu karang merupakan sumber perikanan yang tinggi. Dari 132 jenis ikan yang bernilai ekonomi di Indonesia, 32 jenis diantaranya hidup di terumbu karang, berbagai jenis ikan karang menjadi komoditi ekspor. Terumbu karang yang sehat menghasilkan 3 – 10 ton ikan per kilometer persegi pertahun.
- Keindahan terumbu karang sangat potensial untk wisata bahari. Masyarakat disekitar terumbu karang dapat memanfaatkan hal ini dengan mendirikan pusat-pusat penyelaman, restoran, penginapan sehingga pendapatan mereka bertambah.
Namun yang patut disayangkan, ternyata hanya sekitar 30% saja terumbu karang di Indonesia yang masih bagus kondisinya. Menurut studi yang dilakukan oleh COREMAP (2000), menyimpulkan bahwa kondisi terumbu karang Indonesia yang masih “sangat bagus” hanya 6,1% dan yang berstatus “bagus” hanya 22,68%. Selebihnya dalam kondisi Rusak (31,46%) dan rusak berat (39,76 %). Senada, Wilkinson, ahli terumbu karang dunia, menyatakan bahwa sekitar 40 % terumbu karang Indonesia berstatus “rusak berat” dan hanya 29 % yang kondisinya “bagus” hingga “sangat bagus”. Demikian juga menurut Suharsono yang juga menjabat sebagai Kepala Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) LIPI dan mulai memantau kondisi terumbu karang di 73 daerah dengan 841 stasiun dari Sabang hingga Kepulauan Padaido, Irian Jaya Barat sejak 1993 sampai 2007. Hasilnya menunjukkan kondisi terumbu karang di Tanah Air pada akhir 2006, 5,2 persen dalam kondisi sangat baik, 24,2 persen dalam kondisi baik, 37,3 persen dalam kondisi sedang dan 33,1 persen dalam kondisi buruk.
Kerusakan terumbu karang ini sebagian besar disebabkan oleh ulah manusia diantaranya adalah penangkapan ikan dengan racun dan bom, pengambilan karang, sendimentasi yang diakibatkan oleh penebangan hutan dan pembangunan kota serta over fishing. Selain itu, kerusakan terumbu karang juga diakibatkan oleh pemanasan global yang berakibat pada peningkatan keasaman kondisi samudra dan pemanasan temperatur.
Pemanasan global
Menurut laporan IPCC tahun 2001, bahwa suhu udara global sejak 1861 telah meningkat 0.6ºC, dan pemanasan tersebut terutama disebabkan oleh aktifitas manusia yang menambah gas-gas rumah kaca ke atmosfer. IPCC memprediksi pada tahun 2100 akan terjadi peningkatan suhu rata-rata global akan meningkat 1.4 – 5.8 ºC (2.5 – 10.4 ºF). Dilaporkan pula bahwa suhu bumi akan terus meningkat walaupun konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer tidak bertambah lagi di tahun 2100, karena gas rumah kaca yang telah dilepaskan sebelumnya sudah cukup besar dan masa tinggal nya (life time) cukup lama bisa sampa seratus tahun. Bila emisi gas rumah kaca masih terus meningkat, para ahli memprediksi konsentrasi CO2 akan meningkat hingga 3x lipat pada awal abad ke 22 bila dibandingkan dengan kondisi pra-industri.
Penelitian yang telah dilakukan para ahli selama beberapa dekade terakhir ini menunjukkan bahwa ternyata makin panasnya planet bumi terkait langsung dengan gas-gas rumah kaca yang dihasilkan oleh aktifitas manusia.
Gas Rumah Kaca
Atmosfer bumi terdiri dari bermacam-macam gas dengan fungsi yang berbeda-beda. Kelompok gas yang menjaga suhu permukaan bumi agar tetap hangat dikenal dengan istilah “gas rumah kaca”. Disebut gas rumah kaca karena sistem kerja gas-gas tersebut di atmosfer bumi mirip dengan cara kerja rumah kaca yang berfungsi menahan panas matahari di dalamnya agar suhu di dalam rumah kaca tetap hangat, dengan begitu tanaman di dalamnya pun akan dapat tumbuh dengan baik karena memiliki panas matahari yang cukup. Planet kita pada dasarnya membutuhkan gas-gas tesebut untuk menjaga kehidupan di dalamnya. Tanpa keberadaan gas rumah kaca, bumi akan menjadi terlalu dingin untuk ditinggali karena tidak adanya lapisan yang mengisolasi panas matahari. Sebagai perbandingan, planet mars yang memiliki lapisan atmosfer tipis dan tidak memiliki efek rumah kaca memiliki temperatur rata-rata -32ºCelcius.
Terumbu Karang dan Karang
Terumbu karang (Coral reef ) merupakan masyarakat organisme yang hidup di dasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur (CaCO3) yang cukup kuat menahan gaya gelombang laut. Sedangkan organisme–organisme yang dominan hidup di sini adalah binatang-binatang karang yang mempunyai kerangka kapur, dan algae yang banyak diantaranya juga mengandung kapur. Berkaitan dengan terumbu karang di atas dibedakan antara binatang karang atau karang (reef coral ) sebagai individu organisme atau komponen dari masyarakat dan terumbu karang (coral reef ) sebagai suatu ekosistem (Sorokin, 1993).
Terumbu karang (coral reef ) sebagai ekosistem dasar laut dengan penghuni utama karang yaitu mempunyai arsitektur yang mengagumkan dan dibentuk oleh ribuan hewan kecil yang disebut polip. Dalam bentuk sederhananya, karang terdiri dari satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang terletak di bagian atas dan dikelilingi oleh tentakel. Namun pada kebanyakan spesies, satu individu polip karang akan berkembang menjadi banyak individu yang disebut koloni (Sorokin, 1993).
Anatomi Karang
Karang atau disebut polip memiliki bagian-bagian tubuh terdiri dari :
1. mulut dikelilingi oleh tentakel yang berfungsi untuk menangkap mangsa dari perairan serta sebagai alat pertahanan diri.
2. rongga tubuh (coelenteron) yang juga merupakan saluran pencernaan (gastrovascula)
3. dua lapisan tubuh yaitu ektodermis dan endodermis yang lebih umum disebut gastrodermis karena berbatasan dengan saluran pencernaan. Di antara kedua lapisan terdapat jaringan pengikat tipis yang disebut mesoglea. Jaringan ini terdiri dari sel-sel, serta kolagen, dan mukopolisakarida. Pada sebagian besar karang, epidermis akan menghasilkan material guna membentuk rangka luar karang. Material tersebut berupa kalsium karbonat (kapur).
Di ektodermis tentakel terdapat sel penyengatnya (knidoblas). yang merupakan ciri khas semua hewan Cnidaria. Knidoblas dilengkapi alat penyengat (nematosita) beserta racun di dalamnya. Sel penyengat bila sedang tidak digunakan akan berada dalam kondisi tidak aktif, dan alat sengat berada di dalam sel. Bila ada zooplankton atau hewan lain yang akan ditangkap, maka alat penyengat dan racun akan dikeluarkan.
Bertempat di gastrodermis, hidup zooxanthellae yaitu alga uniseluler dari kelompok Dinoflagelata, dengan w arna coklat atau coklat kekuning- kuningan
Asosiasi Karang dengan Zooxanthellae
Zooxanthellae adalah yaitu sejenis algae unisular (Dinoflagellata unisular), seperti Gymnodinium microadriatum, yang terdapat di jaringan-jaringan polip binatang karang dan melaksanakan fotosistesis, bersimbiosis pada hewan, seperti karang, anemon, moluska dan lainnya. Sebagian besar zooxanthella berasal dari genus Symbiodinium. Jumlah zooxanthellae pada karang diperkirakan > 1 juta sel/cm2 permukaan karang, ada yang mengatakan antara 1-5 juta sel/cm2. Meski dapat hidup tidak terikat induk, sebagian besar zooxanthellae melakukan simbiosis. Dalam asosiasi ini, karang mendapatkan sejumlah keuntungan berupa :
1. Hasil fotosintesis, seperti gula, asam amino, dan oksigen
2. Mempercepat proses kalsifikasi yang menurut Johnston terjadi melalui skema :
· Fotosintesis akan menaikkan PH dan menyediakan ion karbonat lebih banyak
· Dengan pengambilan ion P untuk fotosintesis, berarti zooxanthellae telah menyingkirkan inhibitor kalsifikasi.
Bagi zooxanthellae, karang adalah habitat yang baik karena merupakan pensuplai terbesar zat anorganik untuk fotosintesis. Sebagai contoh Bytell menemukan bahwa untuk zooxanthellae dalam Acropora palmata suplai nitrogen anorganik, 70% didapat dari karang (lihat Tomascik et al. 1997). Anorganik itu merupakan sisa metabolisme karang dan hanya sebagian kecil anorganik diambil dari perairan.
Bagaimana zooxanthellae dapat berada dalam karang, terjadi melalui beberapa mekanisme terkait dengan reproduksi karang. Dari reproduksi secara seksual, karang akan mendapatkan zooxanthellae langsung dari induk atau secara tidak langsung dari lingkungan. Sementara dalam reproduksi aseksual, zooxanthellae akan langsung dipindahkan ke koloni baru atau ikut bersama potongan koloni karang yang lepas.
Pertumbuhan karang dipengaruhi oleh faktor abiotik dan biotik.
• Faktor abiotik dapat berupa intensitas cahaya, lama penyinaran, suhu, nutrisi, dan sedimentasi. Connel dalam percobaannya menemukan bahwa jumlah atau lama penyinaran adalah faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan karang (lihat Wood 1983). Karang memiliki kemampuan hidup dalam perairan miskin nutrien dan mampu beradaptasi terhadap kenaikan nutrien yang bersifat periodik, seperti runoff. Karang tidak dapat beradaptasi terhadap kenaikan nutrien secara mendadak dalam jumlah besar.
• Faktor biotik meliputi predasi, kompetisi, agresi karang lain, dan lainnya.
Kemampuan memproduksi kapur
Atau yang disebut proses kalsifikasi adalah adalah proses yang menghasilkan kapur dan pembentukan rangka karang.
Berdasarkan kepada kemampuan memproduksi kapur maka karang dibedakan menjadi dua kelompok yaitu karang hermatipik dan karang ahermatipik. Karang hermatifik adalah karang yang dapat membentuk bangunan karang yang dikenal menghasilkan terumbu dan penyebarannya hanya ditemukan didaerah tropis. Karang ahermatipik tidak menghasilkan terumbu dan ini merupakan kelompok yang tersebar luas diseluruh dunia. Perbedaan utama karang Hermatipik dan karang ahermatipik adalah adanya simbiosis mutualisme antara karang hermatipik dengan zooxanthellae. Hasil samping dari aktivitas ini adalah endapan kalsium karbonat yang struktur dan bentuk bangunannya khas. Ciri ini akhirnya digunakan untuk menentukan jenis atau spesies binatang karang. Karang hermatipik mempunyai sifat yang unik yaitu perpaduan antara sifat hewan dan tumbuhan sehingga arah pertumbuhannya selalu bersifat fototeopik positif. Umumnya jenis karang ini hidup di perairan pantai / laut yang cukup dangkal dimana penetrasi cahaya matahari masih sampai ke dasar perairan tersebut. Disamping itu untuk hidup binatang karang membutuhkan suhu air yang hangat berkisar antara 25-32 ºC (Nybakken, 1982).
· Kapur dihasilkan dalam reaksi yang terjadi dalam ektodermis karang.
· Reaksi pembentukan deposit kapur, mensyaratkan tersedianya ion kalsium dan ion karbonat. Ion kalsium tersedia dalam perairan yang berasal dari pengikisan batuan di darat. Ion karbonat berasal dari pemecahan asam karbonat
Kalsium karbonat yang terbentuk kemudian membentuk endapan menjadi rangka hewan karang. Sementara itu, karbondioksida akan diambil oleh zooxanthellae untuk fotosintesis. Pengambilan atau pemanfaatan karbon dioksida (CO2) dalam jumlah yang sangat besar untuk keperluan kalsifikasi yang kemudian menghasilkan terumbu karang sebaran vertikal dan horisontal yang amat luas, menjadikan terumbu karang sebagai CARBON SINK.
Kalsifikasi dipengaruhi oleh fotosintesis zooxanthellae. Sebagai contoh Pearse dan Muscatine menggunakan senyawa radioaktif untuk menelusuri hasil fotosintesis. Hasilnya menunjukkan bahwa hasil fotosintesis banyak di ujung-ujung cabang (lihat Wood 1983). Dari pernyataan itu dapat disimpulkan hasil fotosintesis akan menunjang pertumbuhan cabang. Kenaikan nutrien akan menurunkan kalsifikasi karena terjadi peningkatan fosfat.
Fotosintesa oleh algae yang bersimbiose membuat karang pembentuk terumbu menghasilkan deposist cangkang yang terbuat dari kalsium karbonat, kira-kira 10 kali lebih cepat daripada karang yang tidak membentuk terumbu (ahermatipik) dan tidak bersimbiose dengan zooxanthellae.
Akresi
Akresi adalah pertumbuhan koloni dan terumbu ke arah vertikal maupun horisontal. Karang melalui reproduksi aseksualnya menghasilkan karang-karang baru yang berhubungan satu dengan lainnya. Karang-karang tersebut membentuk koloni, yang kemudian tumbuh menjadi bentuk yang khas. Ragam bentuk pertumbuhan koloni tersebut meliputi:
a. Bercabang (Branching)
Koloni ini tumbuh ke arah vertikal maupun horisontal, dengan arah vertikal lebih dominan. Percabangan dapat memanjang atau melebar, sementara bentuk cabang dapat halus atau tebal. Karang bercabang memiliki tingkat pertumbuhan yang paling cepat, yaitu bisa mencapai 20 cm/tahun. Bentuk koloni seperti ini, banyak terdapat di sepanjang tepi terumbu dan bagian atas lereng, terutama yang terlindungi atau setengah terbuka.
b. Padat (Massive)
Pertumbuhan koloni lebih dominan ke arah horisontal daripada vertikal. Karang ini memiliki permukaan yang halus dan padat, bentuk yang bervariasi, seperti setengah bola, bongkahan batu, dan lainnya; dengan ukuran yang juga beragam. Dengan pertumbuhan <>
c. Lembaran (Foliose)
Pertumbuhan koloni terutama ke arah horisontal, dengan bentuk lembaran yang pipih. Umumnya terdapat di lereng terumbu dan daerah terlindung.
d. Seperti meja (Tabulate)
Bentuk bercabang dengan arah mendatar dan rata seperti meja. Karang ini ditopang dengan batang yang berpusat atau bertumpu pada satu sisi membentuk sudut atau datar.
Ekosistem Terumbu Karang
Nybakken (1992) mengelompokkan terumbu karang menjadi tiga tipe umum yaitu :
a.Terumbu karang tepi (Fringing reef/shore reef )
b.Terumbu karang penghalang (Barrier reef)
c.Terumbu karang cincin (atoll)
Diantara tiga struktur tersebut, terumbu karang yang paling umum dijumpai di perairan Indonesia adalah terumbu karang tepi (Suharsono, 1998). Penjelasan ketiga tipe terumbu karang sebagai berikut :
1) Terumbu karang tepi (fringing reef)
berkembang di sepanjang pantai dan mencapai kedalaman tidak lebih dari 40m. Terumbu karang ini tumbuh keatas atau kearah laut. Pertumbuhan terbaik biasanya terdapat dibagian yang cukup arus. Sedangkan diantara pantai dan tepi luar terumbu, karang batu cenderung mempunyai pertumbuhaan yang kurang baik bahkan banyak mati karena sering mengalami kekeringan dan banyak endapan yang datang dari darat.
2) Terumbu karang tipe penghalang (Barrief reef )
terletak di berbagai jarak kejauhan dari pantai dan dipisahkan dari pantai tersebut oleh dasar laut yang terlalu dalam untuk pertumbuhan karang batu (40-70 m). Umumnya memanjang menyusuri pantai dan biasanya berputar-putar seakan – akan merupakan penghalang bagi pendatang yang datang dari luar. Contohnya adalah The Greaat Barier reef yang berderet disebelah timur laut Australia dengan panjang 1.350 mil.
3) Terumbu karang cincin (atol)
melingkari suatu goba (laggon). Kedalaman goba di dalam atol sekitar 45m jarang sampai 100m seperti terumbu karang penghalang. Contohnya adalah atol di Pulau Taka Bone Rate di Sulawesi Selatan.
Hewan karang sebagai pembangun utama terumbu adalah organisme laut yang efisien karena mampu tumbuh subur dalam lingkungan sedikit nutrien (oligotrofik). Menurut Sumich (1992) dan Burke et al. (2002) sebagian besar spesies karang melakukan simbiosis dengan alga simbiotik yaitu zooxanthellae yang hidup di dalam jaringannya. Dalam simbiosis, zooxanthellae menghasilkan oksigen dan senyawa organik melalui fotosintesis yang akan dimanfaatkan oleh karang, sedangkan karang menghasilkan komponen inorganik berupa nitrat, fosfat dan karbon dioksida untuk keperluan hidup zooxanthellae.
II. Permasalahan
Hanya sekitar 30% terumbu karang di Indonesia yang masih dapat dikatakan bagus kondisinya. Menurut studi yang dilakukan oleh COREMAP (2000), menyimpulkan bahwa kondisi terumbu karang Indonesia yang masih “sangat bagus” hanya 6,1% dan yang berstatus “bagus” hanya 22,68%. Selebihnya dalam kondisi Rusak (31,46%) dan rusak berat (39,76 %). Senada, Wilkinson, ahli terumbu karang dunia, menyatakan bahwa sekitar 40 % terumbu karang Indonesia berstatus “rusak berat” dan hanya 29 % yang kondisinya “bagus” hingga “sangat bagus”. Demikian juga menurut Suharsono yang juga menjabat sebagai Kepala Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) LIPI dan mulai memantau kondisi terumbu karang di 73 daerah dengan 841 stasiun dari Sabang hingga Kepulauan Padaido, Irian Jaya Barat sejak 1993 sampai 2007. Hasilnya menunjukkan kondisi terumbu karang di Tanah Air pada akhir 2006, 5,2 persen dalam kondisi sangat baik, 24,2 persen dalam kondisi baik, 37,3 persen dalam kondisi sedang dan 33,1 persen dalam kondisi buruk. Dan salah satu penyebab kerusakan pada terumbu karang – terumbu karang tersebut adalah adanya pemanasan global yang mengakibatkan kenaikan suhu permukaan air laut.
Terhitung 11 november 2009, jumlah emisi karbon dioksida di atmosfer sekitar 385 ppm. Sedangkan angka bagi karbon dioksida yang perlu diwaspadai bagi manusia dan ekosistem yaitu 450 ppm. Tetapi rupanya angka 385 ppm ini sudah terlalu tinggi bagi terumbu karang. Menurut Charlie Veron, dkk (2009) dibutuhkan kadar emisi CO2 atmosfer di bawah 360 ppm untuk menjamin kelangsungan ekologi terumbu karang. Dan jika kadar emisi CO2 di atmosfer tidak turun hingga 320 ppm, maka bagi karang akan berdampak pada pemutihan karang masal akibat meningkatnya suhu muka laut. Selain itu akibat laut air yang semakin asam menjadikan pertumbuhan karang terhambat. Dengan kondisi seperti sekarang ini apabila tidak ada tindakan nyata dari manusia untuk menurunkan emisi CO2, maka dikisaran tahun 2030-2040 CO2 di atmosfer dapat mencapai 450 ppm.
Apabila hal itu benar terjadi, maka akan terjadi kematian massal pada karang-karang, maka ikan-ikan pun akan kehilangan tempat tinggal dan tempat ia untuk mencari makan dan kegiatan lainyya yang selama ini ditunjang oleh terumbu karang. Dan apabila kita mengabaikannya, maka masyarakat yang bergantung pada sumber daya laut kehidupannya kan semakin susah dan berefek pada kehidupan perekonomian dan social masyarakat itu.
III. Pembahasan
Menurut Brown dan Suharsono (1990), peningkatan suhu permukaan laut akan menyebabkan matinya karang-karang (coral bleaching) di sejumlah gugus pulau-pulau kecil di Indonesia. Dengan mengambil analogi kenaikan suhu muka laut pada saat terjadinya kemarau panjang atau El Nino, pada fase ini terjadi pemutihan (bleaching) atas karang-karang.
Seperti saat terjadinya El Nino pada tahun 1998, pemutihan oleh karang terlihat pada kepulauan Riau, Kepulauan Seribu, Kepulauan Karimun Jawa, Pulau Bali, Pulau Lombok, dan Selat Sunda. Gejala Pemutihan karang dilaporakan pertama kali di Pulau Bali dan Lombok pada awal Maret 1998. Dan juga di Kepulauan Serinu pada awal Mei 1998. Dan pada akhir Agustus 1998 kematian pada karang meluas, mulai dari rataan terumbu hingga ke kedalaman 25m. Pada kondisi hewan karang yang mengalami pemutihan terparah ialah spesies dari karang bercabang, yaiut Acropora sp.
Dr. Suharsono dalam “Komunikasi Pribadi” menyatakan bahwa pemantauan suhu juga dilakukan secara terus menerus di Pulau Pari, dan menunjukkan bahwa pemanasan air berawal dari 10 januari dan mencapai suhu maksimum sekitar 19 Maret 1998. Selama masa terjadinya pemutihan karang, tecatat suhu air 2ºC atau 3ºC lebih tinggi dari rataa-rata normalnya. Peristiwa pemutihan karang pada 1998 menyebabkan akibat yang lebih besar dalam wilayah kajian yang sama dibandingkan dengan peristiwa yang sama pada periode El Nino 1982-1983 (lihat Brown dan Suharsono,1990). Dalam pernyataan ini pula dapat kita ambil kesimpulan bahwa telah terjadi kenaikan suhu rata-rata yang mungkin diakibatkan oleh pemanasan global.
Veron (1995) dan Wallace (1998) mengemukakan bahwa ekosistem terumbu karang adalah unik karena umumnya hanya terdapat di perairan tropis, dan sangat sensitive terhadap perubahan lingkungan hidupnya terutama suhu, salinitas, sedimentasi, eutrofikasi dan memerlukan kualitas perairan alami (pristine). Demikian halnya dengan perubahan suhu lingkungan akibat pemanasan global yang melanda perairan tropis di tahun 1998 telah menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) yang diikuti dengan kematian massal mencapai 90-95%. Dimana tercatat selama peristiwa pemutihan tersebut, rata-rata suhu permukaan air di perairan Indonesia adalah 2-3 ºC di atas suhu normal.
Selain dari perubahan suhu, perubahan pada salinitas juga dapat mempengaruhi terumbu karang. Hal ini sesuai dengan penjelasan McCook (1999) bahwa curah hujan yang tinggi dan aliran material permukaan dari daratan (mainland run off) dapat membunuh terumbu karang melalui peningkatan sedimen dan terjadinya penurunan salinitas air laut. Efek selanjutnya adalah kelebihan zat hara (nutrient overload) berkontribusi terhadap degradasi terumbu karang melalui peningkatan pertumbuhan makroalga yang melimpah (overgrowth) terhadap karang. Begitu pula dengan terjadinya kenaikan salinitas yang ekstrim akibat adanya pemanasan sinar matahari yang berlebihan pada atmosfer, akan merubah kondisi perairan yang berimbas kepada kemampuan karang untuk hidup.
Meskipun beberapa karang dapat dijumpai dari lautan subtropis tetapi spesies yang membentuk terumbu karang hanya terdapat di daerah tropis. Kehidupan karang di lautan dibatasi oleh kedalaman yang biasanya kurang dari 25 m dan oleh area yang mempunyai suhu rata-rata minimum dalam setahun sebesar 10ºC. Pertumbuhan maksimum terumbu karang terjadi pada kedalaman kurang dari 10 m dan suhu sekitar 25 ºC sampai 29 ºC. Karena sifat hidup inilah maka terumbu karang banyak dijumpai di Indonesia (Hutabarat dan Evans, 1984).
Solusi dari manusia
Untuk mengawasi sebab dan dampak yang dihasilkan oleh pemanasan global, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) membentuk sebuah kelompok peneliti yang disebut dengan International Panel on Climate Change (IPCC). Setiap beberapa tahun sekali, ribuan ahli dan peneliti-peneliti terbaik dunia yang tergabung dalam IPCC mengadakan pertemuan untuk mendiskusikan penemuan-penemuan terbaru yang berhubungan dengan pemanasan global, dan membuat kesimpulan dari laporan dan penemuan- penemuan baru yang berhasil dikumpulkan, kemudian membuat persetujuan untuk solusi dari masalah tersebut . Salah satu hal pertama yang mereka temukan adalah bahwa beberapa jenis gas rumah kaca bertanggung jawab langsung terhadap pemanasan yang kita alami, dan manusialah kontributor terbesar dari terciptanya gas-gas rumah kaca tersebut. Kebanyakan dari gas rumah kaca ini dihasilkan oleh peternakan, pembakaran bahan bakar fosil pada kendaraan bermotor, pabrik-pabrik modern, peternakan, serta pembangkit tenaga listrik.
Referensi
A.G. Ilahude dan A. Nontji. 1999. Jurnal Oseanografi Indonesia dan Perubahan Iklim Global.
Silvianita Timotius, M.Si. Jurnal Biologi Terumbu Karang.
dalam http://www.terangi.or.id/publications/pdf/biologikarang.pdf
http://ardian-sea24.blogspot.com/
http://alamendah.wordpress.com/2009/07/21/berkenalan-dengan-terumbu-karang-indonesia/
http://lautkita.blogspot.com/2009/11/perubahan-iklim-laut-terumbu-karang.html
http://www.bpphp17.web.id/database/modul/carbon%20trade/Modul%202.pdf
http://www.reefcheck.or.id/wp-content/uploads/10thn-rcindo.pdf